Pintu kamar Finna sedikit terbuka. Laras melongok mengintip, dia tak berani masuk. Namun, Hilman meyakinkan Laras bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Laras…
betulkah itu dirimu Ras?.”
Finna berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Kini, tubuhnya ringkih
termakan penyakit yang telah merebut kesehatannya. Laras baru datang dari
Surabaya setelah hampir 3 tahun meninggalkan Yogyakarta dengan segala kenangan
yang membuatnya lara. Dia harus pergi meninggalkan Finna dan Hilman, suami
Finna karna tak kuasa menahan lara akibat kedua sahabatnya itu menikah
sedangkan Laras menyimpan perasaan sayang kepada Hilman.
“Iya, ini Laras.
Bungsu embak.”
Sekejap tubuh Laras didekap erat oleh Finna.
Seperti dekapan dulu, saat ia menangis dipundak Laras karna suatu waktu yang begitu kejam melemparnya
lima tahun silam. Hilman memandang kedua
sahabat karib itu haru melepas
rindu. Tak terasa peluh mengaliri pipinya yang mulai menua
tergiris waktu.
“Mbak, maafkan Laras yang
dulu pernah ninggalin mbak. Laras nggak datang di pernikahan mbak.”
“Kakak tau Ras.
Sesama wanita, kakak tau gimana perasaanmu saat itu. Kamu merelakan mas Hilman untuk
mbak.”
“Yang
terpenting buat Laras, mbak dan mas Hilman bahagia sekarang.” Kataku sembari tersenyum pada Finna dengan
peluh yang jatuh perlahan. Hilman memandang keduanya kosong. Sebentar. Kemudian dia keluar dan tak
tau kemana arah membawanya.
“Aku bukan wanita
yang sempurna Ras. Aku tak bisa memberikan buah hati untuk Hilman.” Tangis Finna
pecah. Sekejap, dia terisak dan mengusap air matanya. “Aku ingin, kamu membahagiakannya.
Menikahlah dengan dia.”
Laras terperanjat. Bagaimana mungkin. Setelah sekian
lama dia berusaha
mengubur perasaan sayangnya kepada Kak Hilman. Kini, dia
diminta langsung oleh istrinya untuk menikah dengannya.
“Mbak ngomong apa?. Mana mungkin
aku bisa menikah dengan Mas Hilman sedangkan ada Mbak disini.”
“Aku merestuimu
Ras. Biarlah nanti aku minta cerai kepada Mas Hilman. Lalu, kalian bisa menikah
tanpa ada bayang-bayangku.”
“Nggak Mbak, nggak.”
“Percayalah,
ini yang terbaik buat kita. Mbak tau, kamu masih memiliki perasaan yang samakan dengan Mas Hilman.
Sekarang saatnya, kamu bisa mencurahkan segala kasih sayangmu kepadanya.
Biarlah nanti aku yang bicara dengan Hilman.”
“Mbak…”
Laras memeluk erat tubuh Finna yang semakin kurus. Dia tak bisa membayangkan bagaimana
nanti jika benar-benar menikah dengan Hilman. Sedangkan kondisi Finna seperti itu.
Ini bukan masalah nafsu atau apa. Tapi… ya memang beginilah kodrat seorang wanita.
Dia akan merasa bahagia, jika orang yang disayanginya bahagia, meskipun itu dia
merelakannya untuk bersama wanita lain. Seperti yang dirasakan Laras dulu, yang juga merelakan Hilman
untuk akhirnya membangun hidup rumah tangga bersama Finna.
*****
Pagi ini Laras kembali pulang kerumah
Budhenya di
Ngaglik, Sleman, setelah semalam menginap di rumah Hilman dan seranjang dengan Finna. Semalaman Hilman tidak berada
di dalam rumah. Tapi dia merebahkan diri dihadapan malam di bangku teras tengah
rumahnya. Mungkin dalam fikiran Hilman sekarang adalah bagaimana mungkin dia akan
menjadikan Laras istri keduanya dan tinggal
serumah dengan Finna. Apa mungkin Hilman bisa bersikap adil nantinya?. Dan dikala
mentari pagi bersinar dihari ini. Mereka
bertiga telah melakukan diskusi bersama diruang makan.
Hilman diam, Laras menunduk. Hanya Finna yang banyak bicara. Dia tetap bersikukuh agar
Hilman mau menikah Laras untuk mendapatkan keturunan. Namun, Hilman menolak dengan
alasan Finna adalah istri satu dan untuk selamanya dan dia tidak akan menikah Laras karena merasa Laras telah melupakan
rasa sayangnya kepada Hilman. Berkali saling lempar pendapat yang pada esensinya menolak pernikahan
ini. Kalaupun tidak ada yang mengalah pertengkaran ini tiada habisnya. Laras memandang iba Finna dengan
kondisi tubuhnya yang semakin ringkih yang harus berdebat dengan suaminya demi
membahagiakan suaminya. Akhirnya, dia
angkat bicara.
“Baiklah, aku bersedia untuk menikah.”
Seketika, wajah Finna semerbak merona bahagia.
Sebaliknya, Hilman tampak diam kosong tak berucap sepeser katapun. Dia tak mengerti bagaimana jalan pikiran istrinya yang menghendakinya untuk dimadu.
“Tunggu apalagi mas?. Laras sudah menyatakan siap untuk mendampingimu.”
“Fin, tak semudah itu kamu bicara!” ujar Hilman dengan nada
tinggi.
“Plis mas, beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu. Aku akan sangat bahagia jika akhirnya kamu mau menikah dengan Laras.”
Laras terdiam.
“Tapi Laras tak mencintaiku
Fin, dia mengiyakan karna dia iba kepadamu.”
“Tidak. Laras mencintai kamu mas.
Iyakan Ras?” sergah Finna
Lagi-lagi Laras terdiam. Binggung.
“Jawab Laras, kamu mencintai Mas
Hilman kan?” Finna terus mendesak dan memaksa Laras untuk bicara.
Akhirnya dengan segala kepasrahan diri. Laras menjawab apa yang
sejujurnya di dalam hati. “Iya, aku masih sayang kamu Mas.”
Dunia seakan runtuh bagi Hilman.
*****
Laras meringkuk sendiri dikamar. Rumah ini begitu sepi saat dia datang. Budhe sedang ke Purwokerto,
mendampingi Pakdhe yang sedang mengisi seminar nasional di Unsoed, mungkin malam nanti baru sampai rumah. Lelah,
terisak. Dia mengambil gagang telepon yang terletak di dekat televisi. Dia pencet segala angka yang
akan menghubungkannya dengan mamanya. Setelah terdengar sapaan suara mama
dari ujung sana, dia kembali terisak, menangis menghujam hati. Mama mendengar celotehnya dengan penuh kesabaran.
Diakhir pembicaraan mamanya berpesan.
“Nanda sabar ya, besok mama
dan papa akan ke jogja. Nanda jangan sedih lagi ya. Pasti masalah ini ada jalan keluarnya.” Nasihat mama
“Iya ma,
makasih ma. Nanda pengen meluk mama.”
“Iya sayang. Besok kamu bisa sepuasnya meluk mama. Mama siap-siap dulu ya.
Assalamu’alaikum sayang.” Suara diseberang
sana mengakhiri pembicaraan.
“Wa’alaikumussalam
ma…”
*****
Diruang tamu ini, semua berkumpul. Mama, Papa,
Budhe, Mas Hilman dan Laras. Semua terdiam. Kemudian Papa Laras yang memulai pembicaraan.
“Jadi, apa sebenarnya
yang di inginkan dari keluarga nak Hilman kepada anak saya Laras?.”
“Maaf sebelumnya
Pak, mungkin Bapak telah mendengar sedikit cerita dari Laras. Sebenarnya saya keberatan jika harus menikahi
Laras. Bagaimana nanti dengan istri saya Pak. Namun, istri saya ingin agar saya
segera menikahi Laras, karena dia menganggap dia tak bisa memberikan saya keturunan.” Kata Hilman tertunduk.
“Menikah itu urusannya dengan hati nak. Karena itulah ia sangat sakral. Ia tak
bisa dipaksa ataupun memaksa.” Nasehat Papa Laras
Hilman tertunduk.
“Menikah butuh pondasi yang kuat untuk nanti menjalankan sebuah roda
kehidupan dalam rumah tangga. Pondasi itu adalah rasa saling memahami satu sama
yang lain. Menyatu dan saling melengkapi.”
Hilman masih tertunduk.
“Nak, apa kamu mencintai Laras,
sehingga dengan rela kamu akan menduakan istrimu dan menikahinya?”
Hilman terdiam. Dia teringat akan istrinya dan Laras yang
dulu pernah bersama mengisi hatinya. Namun, akhirnya dia memilih Finna karena iba yang pada akhirnya dia tak jadi menikah dengan tunangannya. Finna terpuruk saat lima tahun silam, tunangannya memutuskan dirinya karena suatu alasan yang
begitu kurang dipahami oleh Finna. Laras yang mengerti akan sahabatnya itu selalu menyuportnya,
mendampinginya serta selalu menyediakan pundaknya ketika Finna terisak. Hilman akhirnya meneguhkan diri untuk menikahi Finna dan merelakan Laras untuk lainnya, meski ia juga pernah ada rasa untuk Laras.
“Bagaimana nak Hilman?. Apakah anda mencintai anak saya?” Tanya
papa yang mengaburkan lamunan Hilman.
“Bismillahirrahmanirrahim,
iya Pak. Saya mencintai anak Bapak. Dahulu saya pernah menyimpan rasa kepada Laras sebelum akhirnya saya menikah dengan Finna.”
“Apakah kamu yakin, kamu bisa bersikap adil terhadap kedua istrimu nanti, jika kamu benar-benar akan menikahi Laras?.”
“Saya akan berusaha adil Pak, saya akan membagi cinta dan kasih sayang saya kepada Finna dan Laras.”
Jawabnya mantap. “Ya Allah, semua ini aku lakukan untuk membahagiakan istriku.” Bisik Hilman dalam hati.
“Baiklah, Bapak menganggap ini adalah merupakan suatu sumber pahala bagimu nak. Sekarang,
semuanya Bapak serahkan kepada Laras, karena dia yang akan menjalaninya. Bagaimana Laras?.”
Lagi-lagi Laras hanya tertunduk dan menangis. Dia
tak tahu apa yang harus dia lakukan. Menerima lamaran Hilman, itu berarti akan
membuat luka baru di benaknya setelah bertahun-tahun membalutnya di luka lama. Menolaknya,
berarti akan semakin membuatnya merasa bersalah karena telah mengecewakan
sahabatnya, Finna.
“Tuhan, aku harus gimana?” bisiknya dalam hati.
*****
“Saya terima nikah dan kawinnya Anindita Larasati binti Andi Prasetyo
dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang tunai sebesar Rp 1.705.140
dibayar tunai.”
“Barakallahulaka....”
Didepan mereka, Finna tersenyum pulas dan bahagia
seraya menitikkan air mata Finna berdoa selembut hatinya. Dan ternyata, senyum
itu adalah senyum terakhir Finna. Setegun, badannya lemas gemulai. Matanya
tertutup rapat dan senyumnya masih tersungging keikhlasan. Finna kini telah
pergi untuk selama-lamanya.
*****
Usai pemakaman Finna, pelayat segera kembali ke
rumah masing-masing. Begitu pula dengan keluarga besarnya dan keluarga besar
Hilman. Namun, Laras masih tertegun seraya mengusap nisan Finna.
“Ras, ayo pulang.” Ajak Hilman
“Aku masih ingin disini mas, nemenin Mbak Finna.”
“Finna pasti baik-baik saja Ras. Sore semakin
menjadi, sebelum gelap kita harus segera ke rumah.” Ajaknya lembut
“Mas, terimakasih telah menerimaku lagi. Aku tau,
ini sulit bagimu dan juga bagiku. Mbak Finna sudah seperti ku anggap mbak
kandung sendiri. Meski aku sempat kecewa karena tak datang di pernikahan kalian
dulu. Aku minta maaf mas. Aku udah mengecewain kamu dan mbak Finna.”
“Finna pasti mengerti Ras. Dan kini, kita akan
mencoba mengawali dari bawah dari dulu saat pertama kita bertemu. Saat kamu
menemaniku di hari-hari sulitku dulu. Kita akan buka lembaran baru. Dan hanya
ada aku dan kamu. Hilman dan Laras.” Nasehat Hilman seraya memeluk lembut
Laras.
“Ayo kita pulang.”
Yogyakarta, 18 Mei 2014
0 comments:
Post a Comment