Sunday, May 18, 2014

Lara Sang Laras

Pintu kamar Finna sedikit terbuka. Laras melongok mengintip, dia tak berani masuk. Namun, Hilman meyakinkan Laras bahwa semuanya akan baik-baik saja.
        “Laras… betulkah itu dirimu Ras?.”
Finna berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Kini, tubuhnya ringkih termakan penyakit yang telah merebut kesehatannya. Laras baru datang dari Surabaya setelah hampir 3 tahun meninggalkan Yogyakarta dengan segala kenangan yang membuatnya lara. Dia harus pergi meninggalkan Finna dan Hilman, suami Finna karna tak kuasa menahan lara akibat kedua sahabatnya itu menikah sedangkan Laras menyimpan perasaan sayang kepada Hilman. 

“Iya, ini Laras. Bungsu embak.
Sekejap tubuh Laras didekap erat oleh Finna. Seperti dekapan dulu, saat ia menangis dipundak Laras karna suatu waktu yang begitu kejam melemparnya lima tahun silam. Hilman memandang kedua sahabat karib itu haru melepas rindu. Tak terasa peluh mengaliri pipinya yang mulai menua tergiris waktu.
Mbak, maafkan Laras yang dulu pernah ninggalin mbak. Laras nggak datang di pernikahan mbak.”
“Kakak tau Ras. Sesama wanita, kakak tau gimana perasaanmu saat itu. Kamu merelakan mas Hilman untuk mbak.”
“Yang terpenting buat Laras, mbak dan mas Hilman bahagia sekarang.” Kataku sembari tersenyum pada Finna dengan peluh yang jatuh perlahan. Hilman memandang keduanya kosong. Sebentar. Kemudian dia keluar dan tak tau kemana arah membawanya.
“Aku bukan wanita yang sempurna Ras. Aku tak bisa memberikan buah hati untuk Hilman.” Tangis Finna pecah. Sekejap, dia terisak dan mengusap air matanya. “Aku ingin, kamu membahagiakannya. Menikahlah dengan dia.”
Laras terperanjat. Bagaimana mungkin. Setelah sekian lama dia berusaha mengubur perasaan sayangnya kepada Kak Hilman. Kini, dia diminta langsung oleh istrinya untuk menikah dengannya.
Mbak ngomong apa?. Mana mungkin aku bisa menikah dengan Mas Hilman sedangkan ada Mbak disini.”
“Aku merestuimu Ras. Biarlah nanti aku minta cerai kepada Mas Hilman. Lalu, kalian bisa menikah tanpa ada bayang-bayangku.”
“Nggak Mbak, nggak.”
“Percayalah, ini yang terbaik buat kita. Mbak tau, kamu masih memiliki perasaan yang samakan dengan Mas Hilman. Sekarang saatnya, kamu bisa mencurahkan segala kasih sayangmu kepadanya. Biarlah nanti aku yang bicara dengan Hilman.”
Mbak…”
Laras memeluk erat tubuh Finna yang semakin kurus. Dia tak bisa membayangkan bagaimana nanti jika benar-benar menikah dengan Hilman. Sedangkan kondisi Finna seperti itu. Ini bukan masalah nafsu atau apa. Tapi… ya memang beginilah kodrat seorang wanita. Dia akan merasa bahagia, jika orang yang disayanginya bahagia, meskipun itu dia merelakannya untuk bersama wanita lain. Seperti yang dirasakan Laras dulu, yang juga merelakan Hilman untuk akhirnya membangun hidup rumah tangga bersama Finna.

*****

Pagi ini Laras kembali pulang kerumah Budhenya di Ngaglik, Sleman, setelah semalam menginap di rumah Hilman dan seranjang dengan Finna. Semalaman Hilman tidak berada di dalam rumah. Tapi dia merebahkan diri dihadapan malam di bangku teras tengah rumahnya. Mungkin dalam fikiran Hilman sekarang adalah bagaimana mungkin dia akan menjadikan Laras istri keduanya dan tinggal serumah dengan Finna. Apa mungkin Hilman bisa bersikap adil nantinya?. Dan dikala mentari pagi bersinar dihari ini. Mereka bertiga telah melakukan diskusi bersama diruang makan. Hilman diam, Laras menunduk. Hanya Finna yang banyak bicara. Dia tetap bersikukuh agar Hilman mau menikah Laras untuk mendapatkan keturunan. Namun, Hilman menolak dengan alasan Finna adalah istri satu dan untuk selamanya dan dia tidak akan menikah Laras karena merasa Laras telah melupakan rasa sayangnya kepada Hilman. Berkali saling lempar pendapat yang pada esensinya menolak pernikahan ini. Kalaupun tidak ada yang mengalah pertengkaran ini tiada habisnya. Laras memandang iba Finna dengan kondisi tubuhnya yang semakin ringkih yang harus berdebat dengan suaminya demi membahagiakan suaminya. Akhirnya, dia angkat bicara.
“Baiklah, aku bersedia untuk menikah.”
Seketika, wajah Finna semerbak merona bahagia. Sebaliknya, Hilman tampak diam kosong tak berucap sepeser katapun. Dia tak mengerti bagaimana jalan pikiran istrinya yang menghendakinya untuk dimadu.
“Tunggu apalagi mas?. Laras sudah menyatakan siap untuk mendampingimu.”
“Fin, tak semudah itu kamu bicara!” ujar Hilman dengan nada tinggi.
“Plis mas, beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu.  Aku akan sangat bahagia jika akhirnya kamu mau menikah dengan Laras.”
Laras terdiam.
“Tapi Laras tak mencintaiku Fin, dia mengiyakan karna dia iba kepadamu.”
“Tidak. Laras mencintai kamu mas. Iyakan Ras?” sergah Finna
Lagi-lagi Laras terdiam. Binggung.
“Jawab Laras, kamu mencintai Mas Hilman kan?” Finna terus mendesak dan memaksa Laras untuk bicara.
Akhirnya dengan segala kepasrahan diri. Laras menjawab apa yang sejujurnya di dalam hati. “Iya, aku masih sayang kamu Mas.”
Dunia seakan runtuh bagi Hilman.

*****

Laras meringkuk sendiri dikamar. Rumah ini begitu sepi saat dia datang. Budhe sedang ke Purwokerto, mendampingi Pakdhe yang sedang mengisi seminar nasional di Unsoed, mungkin malam nanti baru sampai rumah. Lelah, terisak. Dia mengambil gagang telepon yang terletak di dekat televisi.  Dia pencet segala angka yang akan menghubungkannya dengan mamanya. Setelah terdengar sapaan suara mama dari ujung sana, dia kembali terisak, menangis menghujam hati. Mama mendengar celotehnya dengan penuh kesabaran. Diakhir pembicaraan mamanya berpesan.
“Nanda sabar ya, besok mama dan papa akan ke jogja. Nanda jangan sedih lagi ya. Pasti masalah ini ada jalan keluarnya.” Nasihat mama
“Iya ma, makasih ma. Nanda pengen meluk mama.”
“Iya sayang. Besok kamu bisa sepuasnya meluk mama. Mama siap-siap dulu ya. Assalamu’alaikum sayang.” Suara diseberang sana mengakhiri pembicaraan.
“Wa’alaikumussalam ma…”


*****

Diruang tamu ini, semua berkumpul. Mama, Papa, Budhe, Mas Hilman dan Laras. Semua terdiam. Kemudian Papa Laras yang memulai pembicaraan.
“Jadi, apa sebenarnya yang di inginkan dari keluarga nak Hilman kepada anak saya Laras?.”
“Maaf sebelumnya Pak, mungkin Bapak telah mendengar sedikit cerita dari Laras. Sebenarnya saya keberatan jika harus menikahi Laras. Bagaimana nanti dengan istri saya Pak. Namun, istri saya ingin agar saya segera menikahi Laras, karena dia menganggap dia tak bisa memberikan saya keturunan.” Kata Hilman tertunduk.
“Menikah itu urusannya dengan hati nak. Karena itulah ia sangat sakral. Ia tak bisa dipaksa ataupun memaksa.” Nasehat Papa Laras
Hilman tertunduk.
“Menikah butuh pondasi yang kuat untuk nanti menjalankan sebuah roda kehidupan dalam rumah tangga. Pondasi itu adalah rasa saling memahami satu sama yang lain. Menyatu dan saling melengkapi.”
Hilman masih tertunduk.
“Nak, apa kamu mencintai Laras, sehingga dengan rela kamu akan menduakan istrimu dan menikahinya?”
Hilman terdiam. Dia teringat akan istrinya dan Laras yang dulu pernah bersama mengisi hatinya. Namun, akhirnya dia memilih Finna karena iba yang pada akhirnya dia tak jadi menikah dengan tunangannya.  Finna terpuruk saat lima tahun silam, tunangannya memutuskan dirinya karena suatu alasan yang begitu kurang dipahami oleh Finna. Laras yang mengerti akan sahabatnya itu selalu menyuportnya, mendampinginya serta selalu menyediakan pundaknya ketika Finna terisak.  Hilman akhirnya meneguhkan diri untuk menikahi Finna dan merelakan Laras untuk lainnya, meski ia juga pernah ada rasa untuk Laras.
“Bagaimana nak Hilman?. Apakah anda mencintai anak saya?” Tanya papa yang mengaburkan lamunan Hilman.
“Bismillahirrahmanirrahim, iya Pak. Saya mencintai anak Bapak. Dahulu saya pernah menyimpan rasa kepada Laras sebelum akhirnya saya menikah dengan Finna.”
“Apakah kamu yakin, kamu bisa bersikap adil terhadap kedua istrimu nanti, jika kamu benar-benar akan menikahi Laras?.”
“Saya akan berusaha adil Pak, saya akan membagi cinta dan kasih sayang saya kepada Finna dan Laras.” Jawabnya mantap. “Ya Allah, semua ini aku lakukan untuk membahagiakan istriku.” Bisik Hilman dalam hati.
“Baiklah, Bapak menganggap ini adalah merupakan suatu sumber pahala bagimu nak. Sekarang, semuanya Bapak serahkan kepada Laras, karena dia yang akan menjalaninya. Bagaimana Laras?.”
Lagi-lagi Laras hanya tertunduk dan menangis. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Menerima lamaran Hilman, itu berarti akan membuat luka baru di benaknya setelah bertahun-tahun membalutnya di luka lama. Menolaknya, berarti akan semakin membuatnya merasa bersalah karena telah mengecewakan sahabatnya, Finna.
“Tuhan, aku harus gimana?” bisiknya dalam hati.

*****

“Saya terima nikah dan kawinnya Anindita Larasati binti Andi Prasetyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta uang tunai sebesar Rp 1.705.140 dibayar tunai.”
“Barakallahulaka....”
Didepan mereka, Finna tersenyum pulas dan bahagia seraya menitikkan air mata Finna berdoa selembut hatinya. Dan ternyata, senyum itu adalah senyum terakhir Finna. Setegun, badannya lemas gemulai. Matanya tertutup rapat dan senyumnya masih tersungging keikhlasan. Finna kini telah pergi untuk selama-lamanya.

*****

Usai pemakaman Finna, pelayat segera kembali ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan keluarga besarnya dan keluarga besar Hilman. Namun, Laras masih tertegun seraya mengusap nisan Finna.
“Ras, ayo pulang.” Ajak Hilman
“Aku masih ingin disini mas, nemenin Mbak Finna.”
“Finna pasti baik-baik saja Ras. Sore semakin menjadi, sebelum gelap kita harus segera ke rumah.” Ajaknya lembut
“Mas, terimakasih telah menerimaku lagi. Aku tau, ini sulit bagimu dan juga bagiku. Mbak Finna sudah seperti ku anggap mbak kandung sendiri. Meski aku sempat kecewa karena tak datang di pernikahan kalian dulu. Aku minta maaf mas. Aku udah mengecewain kamu dan mbak Finna.”
“Finna pasti mengerti Ras. Dan kini, kita akan mencoba mengawali dari bawah dari dulu saat pertama kita bertemu. Saat kamu menemaniku di hari-hari sulitku dulu. Kita akan buka lembaran baru. Dan hanya ada aku dan kamu. Hilman dan Laras.” Nasehat Hilman seraya memeluk lembut Laras.
“Ayo kita pulang.”



Yogyakarta, 18 Mei 2014
Share:

0 comments: