You
take away my chances and your suitcase
Cause
you gonna leave this town
Leave
me cold, leave me alone
But
i won’t show you my frown
Aku
tahu, aku tahu sesuatu yang membuatmu mengerutkan dahi. Sejuta alasan mungkin
sedang kau kumpulkan untuk menguatkan hatimu dan membuatmu berpikir dua kali.
Aku tahu, aku tahu kau tak ingin meninggalkanku yang baru menemukanku seminggu
lalu. Ini terlalu sederhana. Aku tahu, meski kau tak memberi tahu. Hanya aku
dan kamu.
Sampai sesore ini, rumah baca
“Firdausy” masih nampak sepi. Biasanya sekitar pukul empat sore, anak-anak
sekitar kampung mulai berdatangan untuk belajar bareng atau sekedar mampir
main. Tapi, sore ini tidak seperti biasanya. Dari kejauhan, terlihat bahwa
pintu rumah masih tertutup rapat. Apa memang sengaja meliburkan diri sehingga
tutup sementara?. Aku berjalan mendekati rumah itu dengan tentengan lotis
kesukaan anak-anak dan Kak Firda. Kak Firda?. Iya, Kak Firda, lelaki yang
menemukanku didepan Panti Asuhan “Ar Rahman Ar Rahiim” 20 tahun silam. Seminggu
baru bertemu lagi, rasanya sudah kenal dekat.
“Assalamu’alaikum, Kakak... Kak
Firda? Are u at home?.” Kataku
sembari mengetuk pintu yang penuh dengan tempelan bermacam-macam stiker.
“Wa’alaikumussalam, iya Kinan, masuk
aja. Nggak dikunci kok.”
Aku membuka pintu rumah baca ini
yang sekaligus kontrakan singgah yang mungil milik Kak Firda.
“Nggak
nyasar lagi kan?.” Tanya Kak Firda
“Alhamdulillah
udah nggak kak, cukuplah yang ketiga kali ini aku tak nyasar jalan dari Panti kesini.
Jogja cukup panas sampai sesore ini ya kak.”
“Memangnya
di Singapura nggak sepanas ini?. Bukannya lebih banyak gedung-gedung tingginya.
Banyak industrinya, banyak pabriknya?.”
“Hmmm,
iya sih kak. Itulah mengapa aku ingin menghabiskan liburan semesteranku disini.
Di negara asalku. Ngayogyakarta Hadiningrat. Hehehe.”
“Ahh,
kamu bisa saja. Sini duduk.” Katanya sembari menunduk melipat kaos-kaosnya.
“Oiya
kak.”
Aku
mendapatinya sedang beberes memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas carrier 60 liternya. Apa dia mau muncak
ya?. Hmm, disampingnya ada sepatu gunung warna cokelat muda yang tampak garang
dan menantang dari samping. Mungkin Kak Firda seorang pecinta alam, yang hobby
naik gunung. Ahh, kalo iya beneran mau ndaki, aku pengen ikut. Pengen ngerasain
sensasinya mendaki gunung. Amazing pastinya.
“Sedang apa?.” Tanyaku penasaran
dengan aktivitasnya.
“You
don’t look me?. Aku sedang memasukkan baju ke dalam carrier.” Katanya sambil sibuk tanpa menoleh ke aku, lawan
bicaranya.
“Mau kemana? Mau naik gunungkah?.”
“No, tapi jauh dari itu. Aku akan mendaki
di kehidupan yang baru. Tidak disini pastinya.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Hmm,
are you gonna leave this town?.” Aku
mendekati dan duduk bersimpuh dihadapannya.
Dia mendongakkan wajahnya kepadaku.
“Iya Kinan, aku akan segera pergi dari sini. Aku akan mengejar mimpiku.”
Katanya sambil tersenyum.
“Kemana, Kakak mau ninggalin aku
gitu?.” Seharusnya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Tapi tertahan di ulu
hati. Aku terdiam.
Cause
you and i, just you and i
There’s
never been us
Don’t
ask me why
Love
and laughter
Spring
to winter
With
you my dear friend
“Tumben diam? Biasanya kamu suka
cerewet.” Tiba-tiba dia nyeletuk sambil sesekali mencomot beberapa potong buah
lotis, membuyarkan lamunanku.
“Nothing.”
“Aku sudah ajak temen untuk bantuin
ngurusin Rumah Baca ini. Namanya Hendra dan Intan. Nanti aku kenalin. Masalah
sewa kontrak, nanti biar aku yang bayar. Mulai sekarang, rumah baca ini juga
milikmu. Kamu punya hak untuk mengelolanya.” Katanya yang masih mengunyah
sepotong buah nanas.
“Kak Firda, ngomong apaan sih. Aku
nggak ngerti.”
Firda
masih asyik memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas carriernya.
“Sebenarnya
kamu mau kemana sih Kak?.” Tanyaku semakin gusar. Seolah-olah Kak Firda
berpura-pura tak mendengar pertanyaanku.
“Baiklah,
sepertinya aku tak dianggap ada disini. Lebih baik aku pergi saja.” Aku
beranjak, berbalik badan, dan berjalan pelan meninggalkan Kak Firda. Sengaja,
biar Kak Firda mengejarku atau setidaknya ada beberapa kata yang terlontar dari
mulutnya agar mencegahku tidak pergi.
“Kinan...” Yes, dia memanggilku. Tepat ketika tanganku memegang gagang pintu
dan bersiap akan membukanya.
“Masih
ada 12 jam waktuku disini. Aku tak ingin membuangnya percuma.”
“What?
Apa maksudmu?.” Aku membalikkan badan dan menatapnya.
“Duduklah sini sebentar. Biar ku
selesaikan dulu packing ini. Aku tak
ingin kau menyesal meninggalkanku disisa 12 jam waktuku di sini. Sabarlah
sebentar.”
Kelembutan tutur Kak Firda selalu
bisa meluruhkan egoku dengan kalimat-kalimat sabarnya. Meskipun, dia sebenarnya
tahu, aku tak suka menunggu terlalu lama. Akhirnya aku kembali duduk
disampingnya.
“Thank’s
dear. Waiting me. Okay.”
Aku tersenyum.
Do
you remember my love fairy
That look scary
I
know that’s the word you said
Keeps
me thinking and wondering
What
is this burning feeling
Setelah selesai packing dan sholat maghrib. Dia mengajakku pergi ke suatu tempat.
Melewati jalan yang menanjak dan berliku. Hingga ku tahu tempat ini bernama
Bukit Bintang setelah aku membaca tulisan di depan sebuah tempat makan
dikawasan ini. Kak Firda mengajakku masuk ke salah satu tempat makan yang di setting semi terbuka. Agar pengunjung
bisa menikmati kilauan gemerlap bintang yang sejatinya itu berasal dari
lampu-lampu mobil dan motor yang berjalan serta lampu-lampu yang berada di
rumah-rumah yang letaknya di dataran lebih rendah dari tempatku duduk sekarang.
Sungguh indah, tak ku temui tempat seindah ini di Singapura. Kak Firda pesan seafood, jagung bakar dan es susu
coklat. Tak ambil pusing, aku pun pesan sama dengan apa yang Kak Firda
pesan.
“Kau
menculikku sejauh ini Kak.”
“Tapi
Bu Asih tau kan, kalau kamu sedang pergi sama aku?.”
“Hmm,
ya, Ibu taunya aku main ke kontrakannya kakak. Nggak main sejauh ini.” Jawabku
asal.
“Okei,
aku kasih kabar Ibu dulu. Biar beliau nggak khawatir sama kamu.”
Sebentar
kemudian Kak Firda mengeluarkan handphonenya
dan segera mendekatkan ke telinganya. Sebentar kemudian, dia berbicara dengan
Bu Asih, pemilik Panti Asuhan “Ar Rahman Ar Rahiim”. Sepermenit kemudian dia
menutup teleponnya dengan senyuman lega. Aku, masih asyik dengan pandangan kerlipan
bebintang yang ribuan terhampar di atas kota Jogja dan sekitarnya. Sungguh
indah.
“Pasti
di negaramu tak ada tempat seindah dan seromantis ini. Iya kan? Hahaha,
kasihan. Makanya kabur ke Indonesia.” Kak Firda mulai mengejekku dengan
rentetan pertanyaannya yang menohok.
“Hmmm,
okelah. Terima kasih sudah mengajakku kesini.” Aku tak menanggapi ejekannya.
Aku masih suka melihat kerlipan bebintang itu.
“Aku
tak ingin melihat indahnya bebintang itu sendiri, makanya aku ngajak kamu. Mumpung
di Jogja.” Ucapnya seperti tanpa diperintah.
Hening.
“Apa
mimpimu?.” Lanjut tanyanya kepadaku.
“Banyak. Saking banyaknya bingung mau mewujudkan yang mana dulu.
Hehehehe.” Jawabku asal.
“Salah
satunya?.”
“Hmmm,
menjadi bagian dari mimpimu. Upss.” Aduh keceplosan aku ngomongnya. Reflek. Aku
menutup mulut dengan kesepuluh jariku.
“Maybe you and me, just never meant to be,
friendship never ends, is not so bad anyhow.” Ucapan Kak Firda yang
mengambil lirik sebuah lagu dari Letto membuatkan berfikir akan sesuatu.
Pandangnya jauh menatap bintang asli yang letaknya diatas langit. Mungkin
ucapanku tadi dianggap serius sama Kak Firda. Tak taulah.
Sepersekian
detik hening kembali menyelimuti kami. Hingga akhirnya pesanan kami datang.
“Silakan
dinikmati. Enjoy with it.” Ucap sang waitress.
“Thanks you.” Jawabku.
Masih
dengan hening. Aku dan Kak Firda memilih untuk makan dahulu pesanan kami, seafood cumi saus tiram dengan nasi
putih seporsi. Kami makan tanpa bicara. Memang, sepertinya kami kelaparan.
Hingga semua piring kami menjadi kosong karena isinya telah berpindah ke perut
kami. Ya, masih dengan hening.
“Kinan
lapar banget ya kayaknya?. Cepet juga
makannya.” Ucapnya mencairkan suasana.
“Hhehehe.”
“Masih
laper?”
“Udah
dulu deh kak, ntar kalo laper lagi tinggal pesen lagi.” Jawabku.
“Good, sekalian ya aku di traktir.”
Aku
hanya tersenyum menanggapi leluconnya.
“Aku
jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihatmu Kinan, waktu itu. Waktu aku
mendengar tangismu pagi itu. Semenjak itu, aku mencintaimu seperti aku
mencintai Farah.” Kak Firda akhirnya mulai bicara.
Kinan
terkejut dan menatap Firda dengan tatapan serius.
“Kaget
ya?. Maaf ya baru bisa bilang sekarang. Maaf jika kataku barusan seperti
menamparmu.” Jawab Firda.
“No problem. Hmmm, Farah? Who’s it?.”
“She is my little sister. She was died.”
”When?.”
“Sebulan
sebelum kau hadir di Panti. Dia mati bersama semua keluargaku dimakan tsunami
20 tahun lalu. Aku sangat terpukul atas kejadian itu.”
Kinan
terdiam.
“Aku
tak sedih lagi ketika kamu hadir di Panti. Aku seperti menemukan lagi Farahku.
Meski Abi, Umi, Abang-abangku tak kembali, tapi Farahku kembali menjelma
sebagai Kinan. Kinanthi Ayudiningrum, itulah tulisan di secarik kertas yang
menyertai kedatanganmu. Kinan yang menangis di saat subuh dan hanya berbalut
selimut cokelat. Kinan yang hadir mengembalikan separuh jiwaku. Sayang, itupun
juga tak berlangsung lama. Buru-buru ada orang asing yang baru mengenalmu lantas
membawamu pergi dari Ibu, dari aku dan rumah kita. Sejak kepergianmu, separuh
jiwaku kembali luruh.”
“Kak
Firda...” Aku mulai seksama mendengarkan celotehnya.
“Tuhan
memang adil. Aku kehilangan semuanya akibat tsunami itu. Semuanya tak tersisa.
Aku berhutang budi pada Komandan Ridho. Beliaulah yang membawaku dari Meulaboh
ke sini. Menitipkanku pada Bu Asih agar tak kurang kasih sayang layaknya
seorang anak yang masih utuh memiliki ayah bunda. Suatu pagi, ketika aku
tersedu merindukan keluargaku, aku mendengar tangisanmu didepan rumah. Aku lari
kearahmu, dan mendapati seorang bayi merah di dalam kardus berbalut selimut
cokelat menutupi tubuh mungilmu. Tak
lama kemudian Bu Asih menyusulku dan langsung menggendongmu masuk kedalam
rumah. Memberimu kehangatan yang memang masih sangat engkau perlukan. Aku
teringat Farah, adikku yang masih berusia sebulan. Aku tak bisa menggendongnya
kala kulihat air bah menggulung di depan mata. Aku lari mencari Umi dan
mendapati gelombang raksasa siap menghantam rumah kami. Aku lari, hingga aku
tak sadarkan diri. Sejak saat itu, aku berjanji. Aku akan selalu melindungimu
Kinan, Farahku.” Kak Firda menghela nafas panjang. Aku mulai tersedu.
“Kesedihanku
perlahan sirna dengan hadirnya kamu di Panti. Aku suka menggendongmu, meski
kadang Ibu tak memperbolehkannya karna waktu itu usiaku baru 6 tahun. Ahh, kecil
sekali tubuhku kala itu, hingga Ibu tak tega melihatku keberatan menggendongmu.
Hingga akhirnya, kamu harus pergi ikut orang tua angkatmu. Pergi dari Jogja,
pergi menuju negeri antah barantah yang waktu itu aku tak bisa mengejanya.
Singgapore, singapora, apalah itulah.” Kak Firda mengakhiri ceritanya.
“Dan,
kini aku kembali Kak. Aku disini sekarang sama kakak.”
Kak
Firda menatapku lekat-lekat.
“Skenario
Tuhan memang indah Kinan. Beruntung, orang tuamu diplomatis. Tak mengekangmu
untuk kembali mengingat masa lalu. Dari mana kamu berasal, dan dimana dulu kamu
tinggal.”
“Iya,
aku, yang ditemukan di dalam kardus. Aku yang tak disayang sama kedua orangtua
kandungku. Bahkan, sampai kini aku tak tahu rupa dan nama orang tua kandungku.
Papa telah menceritakan semuanya tiga tahun lalu. Ketika aku lulus High School. Hmmm. Awalnya aku shock mendengar cerita Papa, dan aku tak
percaya. Seperti di dongeng saja. Namun, kala itu Mama ngasih lihat aku foto, digambar itu aku masih dibungkus sama kain
jarit batik dan Kak Firda duduk didekatku. Kemudian Mama mengenalkanku dengan
sesok pelindungku di foto itu, dan ku tahu itu adalah Kakak, yang kini ada di
depanku sekarang.”
“Apa
kamu menyesal mengenalku? Meski baru sekian hari kita bertemu.” Tanya Kak Firda
kepadaku.
“Hmmm,
gimana yaa.” Nada bercandaku keluar. “Sejauh seminggu ini aku baru tahu Kakak,
melihat rupa Kakak, melihat beberapa aktivitas harian Kakak, rasanya fine-fine aja. Hmmm, kalau boleh lebai
sedikit ya, rasanya seperti bertemu saudara kandungku yang telah berpisah
selama 20 tahun. Hehehehe.”
“Kinan,
engkau adalah Farahku yang kini sudah kembali.” Kata Kak Firda sambil
tersenyum.
“Cerita
hidup kita seru ya Kak, coba kalau dibikin novel pasti jadi best seller. Hehehe. Tak apalah aku tak
mengenal Ibu kandungku. Tak mengapa aku tak mendapat surga dari Ibu kandungku.
Tapi aku ingin berterimakasih dan berbakti kepada Ibu Asih dan Mama. Semuanya
sudah terjadi, tak perlu ada yang disesali kan Kak?. Tuhan telah menggantinya
dengan yang lebih Indah bersama orang-orang baik disekitarku. Mama dan Papa
yang amat sayang kepadaku. Oiya, dan mereka juga membiarkanku apabila suatu waktu aku
ingin tilik rumah kita.” Kataku
sembari sumringah.
“Dan,
kini kau ada disampingku sekarang.”
Aku
dan Firda saling beradu pandang. Aku tersenyum, pun dia. Kemudian kami kembali
menatap kerlipan bintang yang menyilaukan di bawah sana. Ku labuhkan kepalaku
di pundaknya.
“Kakak
nggak akan ninggalin aku kan?.”
Tak
ada jawaban terlontar dari mulut Kak Firda.
“Kak...”
“Secepatnya,
kamu akan kembali ke Singapura Kinan. Kamu nanti yang akan ninggalin Kakak lagi.”
“Jatah
liburan aku masih ada 30 hari kak. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku disini.
Aku ingin menemani Ibu, membantu merawat adek-adek di Panti dan juga merawat
rumah bacamu.”
“Baiklah,
berat mengatakannya. Maaf, kakak nggak bisa menemanimu di 30 hari sisa jatah
liburanmu.”
Aku
mengangkat kepala dari pundaknya, memaksa untuk melihat wajahnya. “Kakak mau
kemana?.”
“Besok
pagi kakak akan terbang ke Jakarta. Kakak akan memulai kehidupan baru disana. Melanjutkan
sebagian mimpi kakak untuk mengabdi pada negeri ini di KLH Pusat.”
“KLH
Pusat? Kementrian Lingkungan Hidup? As?”
“PNS
di formasi Pustakawan.”
“You don’t tell me about it. Mumumumu. Congratulation Kak. Aku senang
mendengarnya.”
“Thank’s dear. Jakarta Jogja tidak
terlalu jauh kok. Apalagi Jakarta Singapura. Aku pasti akan merindukanmu lagi.
Melebihi rindu tak bertemu denganmu selama 20 tahun. Oiya, segera selesaikan
skripsimu. Jangan molor-molor kayak kakak. Segera wujudkan seabrek
mimpi-mimpimu itu.”
Tak
terasa peluhku jatuh membasahi pipi. Ada perasaan yang teramat sedih ketika Kak
Firda akan pergi ke Jakarta. Baru seminggu aku disini, identifikasi masa lalu,
menemukannya, hingga akhirnya akan ditinggalkannya lebih dulu mengejar mimpi. Oh God, what happen with me?. Dadaku
rasanya sesak.
“Kinan
nangis?.”
“Aku
bersyukur pada Tuhan. Hidupku asyik meskipun penuh liku.” Sembari ku usap air
mata.
“Bukan
karena mau tak tinggal pergi besok kan?.”
Aku
tersenyum. Hatiku senang sekaligus sedih. Aku seperti menemukan pelangi yang
seolah akan mewarnai hariku. Tapi pelangi ini tak berlangsung lama. Dia akan
segera pergi.
“Kak
Firda, If you know, my feeling now.
Aku ingin ikut kamu. Aku ingin menjadi bagian dari harimu dan mimpi-mimpimu.”
Bisikku dalam hati.
“Kinan,
I just wanna say, I love you. Aku tak
ingin meninggalkan Farahku lagi. Aku tak ingin kau pergi kembali ke Singapura.
Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku bersamamu. Waiting me. Aku akan menjemputmu ke Singapura setelah kau lulus
nanti. Aku akan meminta izin dari orangtua angkatmu untuk membawamu tinggal
disini, di Indonesia. Kau memang Farahku, tapi Tuhan sepertinya tidak
mentakdirkan kau selayaknya adik kandungku. Selebihnya, aku ingin menjadikanmu
ibu dari anak-anakku. Tuhan, ku titipkan sementara dia pada-Mu, hingga nanti
aku berjanji akan menanggung kehidupannya di depan-Mu. Aamiin.” Bisik Firda
dalam hati.
Sedikit
alasan terlontar darimu rasanya memang tak logis untuk ku fikirkan. Aku tahu,
seperti ada rahasia perasaan terpendam jauh dari lubukmu. Aku tak tahu itu.
Yang aku tahu, mulai detik ini aku membutuhkanmu untuk selalu ada di sisa
hariku. Aku dan kamu. Hanya aku dan kamu.
0 comments:
Post a Comment