Tuesday, May 2, 2017

You and I

You take away my chances and your suitcase
Cause you gonna leave this town
Leave me cold, leave me alone
But i won’t show you my frown

Aku tahu, aku tahu sesuatu yang membuatmu mengerutkan dahi. Sejuta alasan mungkin sedang kau kumpulkan untuk menguatkan hatimu dan membuatmu berpikir dua kali. Aku tahu, aku tahu kau tak ingin meninggalkanku yang baru menemukanku seminggu lalu. Ini terlalu sederhana. Aku tahu, meski kau tak memberi tahu. Hanya aku dan kamu.
            Sampai sesore ini, rumah baca “Firdausy” masih nampak sepi. Biasanya sekitar pukul empat sore, anak-anak sekitar kampung mulai berdatangan untuk belajar bareng atau sekedar mampir main. Tapi, sore ini tidak seperti biasanya. Dari kejauhan, terlihat bahwa pintu rumah masih tertutup rapat. Apa memang sengaja meliburkan diri sehingga tutup sementara?. Aku berjalan mendekati rumah itu dengan tentengan lotis kesukaan anak-anak dan Kak Firda. Kak Firda?. Iya, Kak Firda, lelaki yang menemukanku didepan Panti Asuhan “Ar Rahman Ar Rahiim” 20 tahun silam. Seminggu baru bertemu lagi, rasanya sudah kenal dekat.

       “Assalamu’alaikum, Kakak... Kak Firda? Are u at home?.” Kataku sembari mengetuk pintu yang penuh dengan tempelan bermacam-macam stiker.
            “Wa’alaikumussalam, iya Kinan, masuk aja. Nggak dikunci kok.”
            Aku membuka pintu rumah baca ini yang sekaligus kontrakan singgah yang mungil milik Kak Firda.
“Nggak nyasar lagi kan?.” Tanya Kak Firda
“Alhamdulillah udah nggak kak, cukuplah yang ketiga kali ini aku tak nyasar jalan dari Panti kesini. Jogja cukup panas sampai sesore ini ya kak.”
“Memangnya di Singapura nggak sepanas ini?. Bukannya lebih banyak gedung-gedung tingginya. Banyak industrinya, banyak pabriknya?.”
“Hmmm, iya sih kak. Itulah mengapa aku ingin menghabiskan liburan semesteranku disini. Di negara asalku. Ngayogyakarta Hadiningrat. Hehehe.”
“Ahh, kamu bisa saja. Sini duduk.” Katanya sembari menunduk melipat kaos-kaosnya.
“Oiya kak.”
Aku mendapatinya sedang beberes memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas carrier 60 liternya. Apa dia mau muncak ya?. Hmm, disampingnya ada sepatu gunung warna cokelat muda yang tampak garang dan menantang dari samping. Mungkin Kak Firda seorang pecinta alam, yang hobby naik gunung. Ahh, kalo iya beneran mau ndaki, aku pengen ikut. Pengen ngerasain sensasinya mendaki gunung. Amazing pastinya.
            “Sedang apa?.” Tanyaku penasaran dengan aktivitasnya.
            “You don’t look me?. Aku sedang memasukkan baju ke dalam carrier.” Katanya sambil sibuk tanpa menoleh ke aku, lawan bicaranya.
            “Mau kemana? Mau naik gunungkah?.”
No, tapi jauh dari itu. Aku akan mendaki di kehidupan yang baru. Tidak disini pastinya.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Hmm, are you gonna leave this town?.” Aku mendekati dan duduk bersimpuh dihadapannya.
            Dia mendongakkan wajahnya kepadaku. “Iya Kinan, aku akan segera pergi dari sini. Aku akan mengejar mimpiku.” Katanya sambil tersenyum.
            “Kemana, Kakak mau ninggalin aku gitu?.” Seharusnya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Tapi tertahan di ulu hati. Aku terdiam.
Cause you and i, just you and i
There’s never been us
Don’t ask me why
Love and laughter
Spring to winter
With you my dear friend
            “Tumben diam? Biasanya kamu suka cerewet.” Tiba-tiba dia nyeletuk sambil sesekali mencomot beberapa potong buah lotis, membuyarkan lamunanku.
            “Nothing.
            “Aku sudah ajak temen untuk bantuin ngurusin Rumah Baca ini. Namanya Hendra dan Intan. Nanti aku kenalin. Masalah sewa kontrak, nanti biar aku yang bayar. Mulai sekarang, rumah baca ini juga milikmu. Kamu punya hak untuk mengelolanya.” Katanya yang masih mengunyah sepotong buah nanas.
            “Kak Firda, ngomong apaan sih. Aku nggak ngerti.”
Firda masih asyik memasukkan beberapa potong baju ke dalam tas carriernya.
“Sebenarnya kamu mau kemana sih Kak?.” Tanyaku semakin gusar. Seolah-olah Kak Firda berpura-pura tak mendengar pertanyaanku.
“Baiklah, sepertinya aku tak dianggap ada disini. Lebih baik aku pergi saja.” Aku beranjak, berbalik badan, dan berjalan pelan meninggalkan Kak Firda. Sengaja, biar Kak Firda mengejarku atau setidaknya ada beberapa kata yang terlontar dari mulutnya agar mencegahku tidak pergi.
            “Kinan...” Yes, dia memanggilku. Tepat ketika tanganku memegang gagang pintu dan bersiap akan membukanya.
“Masih ada 12 jam waktuku disini. Aku tak ingin membuangnya percuma.”
            “What? Apa maksudmu?.” Aku membalikkan badan dan menatapnya.
            “Duduklah sini sebentar. Biar ku selesaikan dulu packing ini. Aku tak ingin kau menyesal meninggalkanku disisa 12 jam waktuku di sini. Sabarlah sebentar.”
            Kelembutan tutur Kak Firda selalu bisa meluruhkan egoku dengan kalimat-kalimat sabarnya. Meskipun, dia sebenarnya tahu, aku tak suka menunggu terlalu lama. Akhirnya aku kembali duduk disampingnya.
            “Thank’s dear. Waiting me. Okay.”
            Aku tersenyum.
Do you remember my love fairy
That  look scary
I know that’s the word you said
Keeps me thinking and wondering
What is this burning feeling
            Setelah selesai packing dan sholat maghrib. Dia mengajakku pergi ke suatu tempat. Melewati jalan yang menanjak dan berliku. Hingga ku tahu tempat ini bernama Bukit Bintang setelah aku membaca tulisan di depan sebuah tempat makan dikawasan ini. Kak Firda mengajakku masuk ke salah satu tempat makan yang di setting semi terbuka. Agar pengunjung bisa menikmati kilauan gemerlap bintang yang sejatinya itu berasal dari lampu-lampu mobil dan motor yang berjalan serta lampu-lampu yang berada di rumah-rumah yang letaknya di dataran lebih rendah dari tempatku duduk sekarang. Sungguh indah, tak ku temui tempat seindah ini di Singapura. Kak Firda pesan seafood, jagung bakar dan es susu coklat. Tak ambil pusing, aku pun pesan sama dengan apa yang Kak Firda pesan.  
“Kau menculikku sejauh ini Kak.”
“Tapi Bu Asih tau kan, kalau kamu sedang pergi sama aku?.”
“Hmm, ya, Ibu taunya aku main ke kontrakannya kakak. Nggak main sejauh ini.” Jawabku asal.
“Okei, aku kasih kabar Ibu dulu. Biar beliau nggak khawatir sama kamu.”
Sebentar kemudian Kak Firda mengeluarkan handphonenya dan segera mendekatkan ke telinganya. Sebentar kemudian, dia berbicara dengan Bu Asih, pemilik Panti Asuhan “Ar Rahman Ar Rahiim”. Sepermenit kemudian dia menutup teleponnya dengan senyuman lega. Aku, masih asyik dengan pandangan kerlipan bebintang yang ribuan terhampar di atas kota Jogja dan sekitarnya. Sungguh indah.
“Pasti di negaramu tak ada tempat seindah dan seromantis ini. Iya kan? Hahaha, kasihan. Makanya kabur ke Indonesia.” Kak Firda mulai mengejekku dengan rentetan pertanyaannya yang menohok.
“Hmmm, okelah. Terima kasih sudah mengajakku kesini.” Aku tak menanggapi ejekannya. Aku masih suka melihat kerlipan bebintang itu.
“Aku tak ingin melihat indahnya bebintang itu sendiri, makanya aku ngajak kamu. Mumpung di Jogja.” Ucapnya seperti tanpa diperintah.
Hening.
“Apa mimpimu?.” Lanjut tanyanya kepadaku.
Banyak. Saking banyaknya bingung mau mewujudkan yang mana dulu. Hehehehe.” Jawabku asal.
“Salah satunya?.”
“Hmmm, menjadi bagian dari mimpimu. Upss.” Aduh keceplosan aku ngomongnya. Reflek. Aku menutup mulut dengan kesepuluh jariku.
Maybe you and me, just never meant to be, friendship never ends, is not so bad anyhow.” Ucapan Kak Firda yang mengambil lirik sebuah lagu dari Letto membuatkan berfikir akan sesuatu. Pandangnya jauh menatap bintang asli yang letaknya diatas langit. Mungkin ucapanku tadi dianggap serius sama Kak Firda. Tak taulah.
Sepersekian detik hening kembali menyelimuti kami. Hingga akhirnya pesanan kami datang.
“Silakan dinikmati. Enjoy with it.” Ucap sang waitress.
“Thanks you.” Jawabku.
Masih dengan hening. Aku dan Kak Firda memilih untuk makan dahulu pesanan kami, seafood cumi saus tiram dengan nasi putih seporsi. Kami makan tanpa bicara. Memang, sepertinya kami kelaparan. Hingga semua piring kami menjadi kosong karena isinya telah berpindah ke perut kami. Ya, masih dengan hening.
“Kinan lapar banget ya kayaknya?. Cepet  juga makannya.” Ucapnya mencairkan suasana.
“Hhehehe.”
“Masih laper?”
“Udah dulu deh kak, ntar kalo laper lagi tinggal pesen lagi.” Jawabku.
Good, sekalian ya aku di traktir.”
Aku hanya tersenyum menanggapi leluconnya.
“Aku jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihatmu Kinan, waktu itu. Waktu aku mendengar tangismu pagi itu. Semenjak itu, aku mencintaimu seperti aku mencintai Farah.” Kak Firda akhirnya mulai bicara.
Kinan terkejut dan menatap Firda dengan tatapan serius.
“Kaget ya?. Maaf ya baru bisa bilang sekarang. Maaf jika kataku barusan seperti menamparmu.” Jawab Firda.
No problem. Hmmm, Farah? Who’s it?.”
She is my little sister. She was died.”
When?.”
“Sebulan sebelum kau hadir di Panti. Dia mati bersama semua keluargaku dimakan tsunami 20 tahun lalu. Aku sangat terpukul atas kejadian itu.”
Kinan terdiam.
“Aku tak sedih lagi ketika kamu hadir di Panti. Aku seperti menemukan lagi Farahku. Meski Abi, Umi, Abang-abangku tak kembali, tapi Farahku kembali menjelma sebagai Kinan. Kinanthi Ayudiningrum, itulah tulisan di secarik kertas yang menyertai kedatanganmu. Kinan yang menangis di saat subuh dan hanya berbalut selimut cokelat. Kinan yang hadir mengembalikan separuh jiwaku. Sayang, itupun juga tak berlangsung lama. Buru-buru ada orang asing yang baru mengenalmu lantas membawamu pergi dari Ibu, dari aku dan rumah kita. Sejak kepergianmu, separuh jiwaku kembali luruh.”
“Kak Firda...” Aku mulai seksama mendengarkan celotehnya.
“Tuhan memang adil. Aku kehilangan semuanya akibat tsunami itu. Semuanya tak tersisa. Aku berhutang budi pada Komandan Ridho. Beliaulah yang membawaku dari Meulaboh ke sini. Menitipkanku pada Bu Asih agar tak kurang kasih sayang layaknya seorang anak yang masih utuh memiliki ayah bunda. Suatu pagi, ketika aku tersedu merindukan keluargaku, aku mendengar tangisanmu didepan rumah. Aku lari kearahmu, dan mendapati seorang bayi merah di dalam kardus berbalut selimut cokelat menutupi tubuh mungilmu. Tak lama kemudian Bu Asih menyusulku dan langsung menggendongmu masuk kedalam rumah. Memberimu kehangatan yang memang masih sangat engkau perlukan. Aku teringat Farah, adikku yang masih berusia sebulan. Aku tak bisa menggendongnya kala kulihat air bah menggulung di depan mata. Aku lari mencari Umi dan mendapati gelombang raksasa siap menghantam rumah kami. Aku lari, hingga aku tak sadarkan diri. Sejak saat itu, aku berjanji. Aku akan selalu melindungimu Kinan, Farahku.” Kak Firda menghela nafas panjang. Aku mulai tersedu.
“Kesedihanku perlahan sirna dengan hadirnya kamu di Panti. Aku suka menggendongmu, meski kadang Ibu tak memperbolehkannya karna waktu itu usiaku baru 6 tahun. Ahh, kecil sekali tubuhku kala itu, hingga Ibu tak tega melihatku keberatan menggendongmu. Hingga akhirnya, kamu harus pergi ikut orang tua angkatmu. Pergi dari Jogja, pergi menuju negeri antah barantah yang waktu itu aku tak bisa mengejanya. Singgapore, singapora, apalah itulah.” Kak Firda mengakhiri ceritanya.
“Dan, kini aku kembali Kak. Aku disini sekarang sama kakak.”
Kak Firda menatapku lekat-lekat.
“Skenario Tuhan memang indah Kinan. Beruntung, orang tuamu diplomatis. Tak mengekangmu untuk kembali mengingat masa lalu. Dari mana kamu berasal, dan dimana dulu kamu tinggal.”
“Iya, aku, yang ditemukan di dalam kardus. Aku yang tak disayang sama kedua orangtua kandungku. Bahkan, sampai kini aku tak tahu rupa dan nama orang tua kandungku. Papa telah menceritakan semuanya tiga tahun lalu. Ketika aku lulus High School. Hmmm. Awalnya aku shock mendengar cerita Papa, dan aku tak percaya. Seperti di dongeng saja. Namun, kala itu Mama ngasih lihat aku foto, digambar itu aku masih dibungkus sama kain jarit batik dan Kak Firda duduk didekatku. Kemudian Mama mengenalkanku dengan sesok pelindungku di foto itu, dan ku tahu itu adalah Kakak, yang kini ada di depanku sekarang.”
“Apa kamu menyesal mengenalku? Meski baru sekian hari kita bertemu.” Tanya Kak Firda kepadaku.
“Hmmm, gimana yaa.” Nada bercandaku keluar. “Sejauh seminggu ini aku baru tahu Kakak, melihat rupa Kakak, melihat beberapa aktivitas harian Kakak, rasanya fine-fine aja. Hmmm, kalau boleh lebai sedikit ya, rasanya seperti bertemu saudara kandungku yang telah berpisah selama 20 tahun. Hehehehe.”
“Kinan, engkau adalah Farahku yang kini sudah kembali.” Kata Kak Firda sambil tersenyum.
“Cerita hidup kita seru ya Kak, coba kalau dibikin novel pasti jadi best seller. Hehehe. Tak apalah aku tak mengenal Ibu kandungku. Tak mengapa aku tak mendapat surga dari Ibu kandungku. Tapi aku ingin berterimakasih dan berbakti kepada Ibu Asih dan Mama. Semuanya sudah terjadi, tak perlu ada yang disesali kan Kak?. Tuhan telah menggantinya dengan yang lebih Indah bersama orang-orang baik disekitarku. Mama dan Papa yang amat sayang kepadaku. Oiya, dan mereka  juga membiarkanku apabila suatu waktu aku ingin tilik rumah kita.” Kataku sembari sumringah.
“Dan, kini kau ada disampingku sekarang.”
Aku dan Firda saling beradu pandang. Aku tersenyum, pun dia. Kemudian kami kembali menatap kerlipan bintang yang menyilaukan di bawah sana. Ku labuhkan kepalaku di pundaknya.
“Kakak nggak akan ninggalin aku kan?.”
Tak ada jawaban terlontar dari mulut Kak Firda.
“Kak...”
“Secepatnya, kamu akan kembali ke Singapura Kinan. Kamu nanti yang akan ninggalin Kakak lagi.”
“Jatah liburan aku masih ada 30 hari kak. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku disini. Aku ingin menemani Ibu, membantu merawat adek-adek di Panti dan juga merawat rumah bacamu.”
“Baiklah, berat mengatakannya. Maaf, kakak nggak bisa menemanimu di 30 hari sisa jatah liburanmu.”
Aku mengangkat kepala dari pundaknya, memaksa untuk melihat wajahnya. “Kakak mau kemana?.”
“Besok pagi kakak akan terbang ke Jakarta. Kakak akan memulai kehidupan baru disana. Melanjutkan sebagian mimpi kakak untuk mengabdi pada negeri ini di KLH Pusat.”
“KLH Pusat? Kementrian Lingkungan Hidup? As?
“PNS di formasi Pustakawan.”
You don’t tell me about it. Mumumumu. Congratulation Kak. Aku senang mendengarnya.”
Thank’s dear. Jakarta Jogja tidak terlalu jauh kok. Apalagi Jakarta Singapura. Aku pasti akan merindukanmu lagi. Melebihi rindu tak bertemu denganmu selama 20 tahun. Oiya, segera selesaikan skripsimu. Jangan molor-molor kayak kakak. Segera wujudkan seabrek mimpi-mimpimu itu.”
Tak terasa peluhku jatuh membasahi pipi. Ada perasaan yang teramat sedih ketika Kak Firda akan pergi ke Jakarta. Baru seminggu aku disini, identifikasi masa lalu, menemukannya, hingga akhirnya akan ditinggalkannya lebih dulu mengejar mimpi. Oh God, what happen with me?. Dadaku rasanya sesak.
“Kinan nangis?.”
“Aku bersyukur pada Tuhan. Hidupku asyik meskipun penuh liku.” Sembari ku usap air mata.
“Bukan karena mau tak tinggal pergi besok kan?.”
Aku tersenyum. Hatiku senang sekaligus sedih. Aku seperti menemukan pelangi yang seolah akan mewarnai hariku. Tapi pelangi ini tak berlangsung lama. Dia akan segera pergi.
“Kak Firda, If you know, my feeling now. Aku ingin ikut kamu. Aku ingin menjadi bagian dari harimu dan mimpi-mimpimu.” Bisikku dalam hati.
“Kinan, I just wanna say, I love you. Aku tak ingin meninggalkan Farahku lagi. Aku tak ingin kau pergi kembali ke Singapura. Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku bersamamu. Waiting me. Aku akan menjemputmu ke Singapura setelah kau lulus nanti. Aku akan meminta izin dari orangtua angkatmu untuk membawamu tinggal disini, di Indonesia. Kau memang Farahku, tapi Tuhan sepertinya tidak mentakdirkan kau selayaknya adik kandungku. Selebihnya, aku ingin menjadikanmu ibu dari anak-anakku. Tuhan, ku titipkan sementara dia pada-Mu, hingga nanti aku berjanji akan menanggung kehidupannya di depan-Mu. Aamiin.” Bisik Firda dalam hati.

Sedikit alasan terlontar darimu rasanya memang tak logis untuk ku fikirkan. Aku tahu, seperti ada rahasia perasaan terpendam jauh dari lubukmu. Aku tak tahu itu. Yang aku tahu, mulai detik ini aku membutuhkanmu untuk selalu ada di sisa hariku. Aku dan kamu. Hanya aku dan kamu. 
Share:

0 comments: