Monday, November 21, 2011

Mampukah Sekolah Menjadi Bengkel Kerusakan?


        Suasana resah oleh kondisi aktual bangsa, hilangnya rasa malu atas perilaku korup, tidak hadirnya pemerintahan eksekutif dalam masyarakat dan mandulnya proses peradilan membuat suasana resah berkepanjangan. Jangka panjang dan jangka pendek pun dicoba disampainkan.
     Suasana resah ini terkait dengan rasa ketidakhadiran, kurangnya ketegasan kepemimpinan dan kelambanan mengambil keputusan. Berbagai persoalan yang sehari-hari hidup dalam sanubari warga bangsa, sering diungkapkan publik akan tetapi lebih banyak menjadi keprihatinan bersama. Titik akhirnya mengerucut pada moralitas dan pendidikan sebagai upaya pembudayaan yang sifatnya jangka panjang menjadi tumpuan akhir.
      Dalam tataran tujuan jangka panjang, praktis pendidikan karakter membawa serta anak didik ke pengenalan nilai-nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Praktis pendidikan akan berhasil kalau ada kesatuan kondisi antara internal keluarga, sekolah dan masyarakat.

        Pengalaman memperlihatkan, ketika kebiasaan tidak jujur sudah terbiasa terjadi didalam keluarga, dengan mudahnya akan menular ke berbagai bentuk, seperti menyontek sebagai hal biasa, tidak ada perbedaan tegas antara “milikku” dan “milikmu”, apalagi “milik perusahaan atau negara” ; embrio kebiasaan dan sikap yang di kemudian hari berkembang sebagai budaya korup sebuah masyarakat. Akibatnya masyarakat dan negara rusak secara moral yang ditandai dengan rusaknya moral masyarakat, apalagi hal ini dilakukan oleh tokoh dan pemimpin masyarakat.

Sekolah = Bengkel Sepeda
             Sekolah terlanjur dianggap sebagai bengkel sepeda!. Bengkel untuk sepeda yang sudah rusak parah ataupun bengkel kecil-kecilan sekadar tambal ban bocor. Tidak dalam arti sekolah sebagai bengkel kerja versi John Dewey, tetapi dalam arti temuan atau lebih tepatnya adalah pelarian dari segala bentuk kerusakan.
         Mampukah sekolah berperan sebagai bengkel masyarakat?. Dalam kondisi perangkat penegak hukum dengan payung upaya pemberantasan korupsi saja tertatih-tatih, apalagi praktik korup sudah menggurita dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Apakah artinya lembaga pendidikan dalam proses pelapukan bangsa semacam ini?.
            Dengan rumusan masing-masing semua peserta sarasehan terbatas menjawab, “bisa, asal...”. perlu dicatat, Kementrian Pendidikan Nasional memang sudah merencanakan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Sama seperti dilakukan tentang pendidikan tanggap bencana atau tertib lalu lintas. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai terulang kurikulum pendidikan sarat beban karena banyak titipan seperti pada Kurikulum 1984.
          Kini, ketika degradasi moralitas bangsa terus terjadi, untuk jangka panjang tidak boleh tidak masalah pendidikan karakter menjadi muatan yang harus dimasukkan, yang bobotnya lebih besar dibandingkan dengan titipan-titipan lain semacam tertib lalu lintas. Bentuknya semacam budi pekerti ; terlanjur dipahami sebagai cara bersopan santun ; mata pelajaran yang selalu dirujuk sebagai salah atu pelengkap praksis pendidikan, selain faktor kognitif dan ketrampilan. Praksis pendidikan afektif nyaris hilang karena semua terlanjur serba jadi intelektual. Akibatnya, banyak dihasilkan lulusan pinter tapi keblinger!.
          Praksis pendidikan mestilah dikembalikan pada inti dasarnya, yakni berbasis karakter yang menyasar dengan jelas apa maunya. Pendidikan karakter menjadi bagian utuh dari proses penguatan dan peningkatan mutu pendidikan.
      Jika ingin menekankan nilai kejujuran, hendaknya tidak hanya disampaikan dalam pelajaran kognitif, tetapi juga praktik sehari-hari di sekolah. Warung kejujuran yang kini diselenggarakan di banyak sekolah, paling tidak menjadi pintu masuk mengembangkan budaya kejujuran.

Budi Pekerti
             Peserta sarasehan mengapresiasi sekolah yang berani mengeluarkan murid yang ketahuan menyontek saat ulangan atau ujian, sekolah yang berani menaruh nilai kejujuran sebagai salah satu klausul penegakan dislipin sekolah. Mata pelajaran Budi Pekerti, yang menjadi nostalgis bagi kaum tua, memang betul lebih banyak mengajarkan agar siswa berperilaku sopan santun, perilaku yang saat ini dibabat habis oleh kebiasaan serba lugas dan transparan.
         Mata pelajaran Budi Pekerti memang belum mencukupi, sebaliknya masih diperlukan materi pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam mata pelajaran yang terkait langsung, seperti agama dan PPKN (di masa lalu pernah diterjemahkan sebagai indoktrinasi kewarganegaraan), bimbingan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepramukaan. Kondisi koruptif dalam masyarakat dan keluarga bisa terjadi bukan merupakanlahan pendidikan karakter, sebaliknya justru kondisi ini selain menjadi tantangan, juga bagaimana mengusahakan terus-menerus kerjasama antara keluarga dan sekolah.
        Yang mau ditegakkan memang knowledge is power, tetapi juga character is more. Ilmu pengetahuan iya, tetapi tak kalah penting karakter. Merosotnya karakter bangsa saat ini menjadi isu besar. Penegakan hukum tertatih-tatih. Praksis politik yang dari dasarnya kekuasaan cenderung dan mudah korup memperoleh lahan subur dalam masyarakat yang tak berkarakter. Dianutlah salah satu sisi nasihat filsuf politik Niccollo Machiavelli, yang diterjemahkan dalam bentuk tidak etis dan koruptif. Sifatnya massa!.
             Bagaimana mengatasinya?. Lakukan analisis konten!. Maka apa yang terlihat dari media sehari-hari adalah panorama kemerosotan moral. Isu-isu besar, mulai dari kasus Gayus Tambunan, kebohongan kepada publik, tersanderanya parpol-parpol besar dengan kasus-kasus keuangan sebagai kartu truf masing-masing, hingga lebih dari 60 persen kepala daerah dalam kondisi bermasalah yang menunjukkan betapa bangsa ini menuju ke kondisi negara gagal seperti yang digagas Francis Fukuyama. Kondisi negara gagal (the failed country) tidak terjadi asal, adakah kesadaran dari kegagalan itu?. Jawabannya dibantah langsung, padahal seharusnya ditangkap sebagai pelecut perbaikan diri dan bukan dihindari.
           Lima M dalam proses manajemen yang terdiri atas manusia, mesin, materi, money (uang) dan metode sebagai pusat sehingga manusia hanya dilihat seberapa besar kompetensinya. Manusia adalah sumber daya, tidak didasari manusia itu punya aspirasi, kebajikan dan seterusnya.
           Tidak memanusiawikan manusia itu bersumber pada cara berfikir yang dilihat dari sisi kompetensi sebagai kesalahan pertama. Kesalahan lainnya dilupakan seperti apa yang dilakukan para bapak bangsa kita, Indonesia. Mereka berhasil melakukan pendidikan karakter sehingga menjadi sosok yang berkarakter kuat.
           Dalam praksis pendidikan karakter yang produktif, mengutip pendapat Rush Kidder, diperlukan pemberdayaan tenaga guru, efektif meningkatkan penalaran moral dan tidak hanya selesai pada teori Ilmu pengetahuan tetapi juga dipraktikkan.


Referensi : Harian Kompas 11/03/11 dengan sedikit pengubahan kata.

Share:

0 comments: