Suasana resah oleh kondisi aktual bangsa, hilangnya rasa malu atas
perilaku korup, tidak hadirnya pemerintahan eksekutif dalam masyarakat dan
mandulnya proses peradilan membuat suasana resah berkepanjangan. Jangka panjang
dan jangka pendek pun dicoba disampainkan.
Suasana resah ini
terkait dengan rasa ketidakhadiran, kurangnya ketegasan kepemimpinan dan
kelambanan mengambil keputusan. Berbagai persoalan yang sehari-hari hidup dalam
sanubari warga bangsa, sering diungkapkan publik akan tetapi lebih banyak
menjadi keprihatinan bersama. Titik akhirnya mengerucut pada moralitas dan
pendidikan sebagai upaya pembudayaan yang sifatnya jangka panjang menjadi
tumpuan akhir.
Dalam tataran
tujuan jangka panjang, praktis pendidikan karakter membawa serta anak didik ke
pengenalan nilai-nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif dan
akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Praktis pendidikan akan berhasil kalau
ada kesatuan kondisi antara internal keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pengalaman
memperlihatkan, ketika kebiasaan tidak jujur sudah terbiasa terjadi didalam
keluarga, dengan mudahnya akan menular ke berbagai bentuk, seperti menyontek
sebagai hal biasa, tidak ada perbedaan tegas antara “milikku” dan “milikmu”,
apalagi “milik perusahaan atau negara” ; embrio kebiasaan dan sikap yang di
kemudian hari berkembang sebagai budaya korup sebuah masyarakat. Akibatnya
masyarakat dan negara rusak secara moral yang ditandai dengan rusaknya moral
masyarakat, apalagi hal ini dilakukan oleh tokoh dan pemimpin masyarakat.
Sekolah = Bengkel Sepeda
Sekolah terlanjur
dianggap sebagai bengkel sepeda!. Bengkel untuk sepeda yang sudah rusak parah
ataupun bengkel kecil-kecilan sekadar tambal ban bocor. Tidak dalam arti
sekolah sebagai bengkel kerja versi John Dewey, tetapi dalam arti temuan atau
lebih tepatnya adalah pelarian dari segala bentuk kerusakan.
Mampukah sekolah
berperan sebagai bengkel masyarakat?. Dalam kondisi perangkat penegak hukum
dengan payung upaya pemberantasan korupsi saja tertatih-tatih, apalagi praktik
korup sudah menggurita dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Apakah artinya
lembaga pendidikan dalam proses pelapukan bangsa semacam ini?.
Dengan rumusan
masing-masing semua peserta sarasehan terbatas menjawab, “bisa, asal...”. perlu
dicatat, Kementrian Pendidikan Nasional memang sudah merencanakan pendidikan
karakter yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Sama seperti dilakukan
tentang pendidikan tanggap bencana atau tertib lalu lintas. Yang perlu dijaga
adalah jangan sampai terulang kurikulum pendidikan sarat beban karena banyak
titipan seperti pada Kurikulum 1984.
Kini, ketika
degradasi moralitas bangsa terus terjadi, untuk jangka panjang tidak boleh
tidak masalah pendidikan karakter menjadi muatan yang harus dimasukkan, yang
bobotnya lebih besar dibandingkan dengan titipan-titipan lain semacam tertib
lalu lintas. Bentuknya semacam budi pekerti ; terlanjur dipahami sebagai cara
bersopan santun ; mata pelajaran yang selalu dirujuk sebagai salah atu pelengkap
praksis pendidikan, selain faktor kognitif dan ketrampilan. Praksis pendidikan
afektif nyaris hilang karena semua terlanjur serba jadi intelektual. Akibatnya,
banyak dihasilkan lulusan pinter tapi keblinger!.
Praksis pendidikan
mestilah dikembalikan pada inti dasarnya, yakni berbasis karakter yang menyasar
dengan jelas apa maunya. Pendidikan karakter menjadi bagian utuh dari proses
penguatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Jika ingin
menekankan nilai kejujuran, hendaknya tidak hanya disampaikan dalam pelajaran
kognitif, tetapi juga praktik sehari-hari di sekolah. Warung kejujuran yang
kini diselenggarakan di banyak sekolah, paling tidak menjadi pintu masuk
mengembangkan budaya kejujuran.
Budi Pekerti
Peserta sarasehan
mengapresiasi sekolah yang berani mengeluarkan murid yang ketahuan menyontek
saat ulangan atau ujian, sekolah yang berani menaruh nilai kejujuran sebagai
salah satu klausul penegakan dislipin sekolah. Mata pelajaran Budi Pekerti,
yang menjadi nostalgis bagi kaum tua, memang betul lebih banyak mengajarkan
agar siswa berperilaku sopan santun, perilaku yang saat ini dibabat habis oleh
kebiasaan serba lugas dan transparan.
Mata pelajaran
Budi Pekerti memang belum mencukupi, sebaliknya masih diperlukan materi
pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam mata pelajaran yang terkait
langsung, seperti agama dan PPKN (di masa lalu pernah diterjemahkan sebagai
indoktrinasi kewarganegaraan), bimbingan konseling dan kegiatan ekstrakurikuler
seperti kepramukaan. Kondisi koruptif dalam masyarakat dan keluarga bisa
terjadi bukan merupakanlahan pendidikan karakter, sebaliknya justru kondisi ini
selain menjadi tantangan, juga bagaimana mengusahakan terus-menerus kerjasama
antara keluarga dan sekolah.
Yang mau
ditegakkan memang knowledge is power, tetapi juga character is more. Ilmu
pengetahuan iya, tetapi tak kalah penting karakter. Merosotnya karakter bangsa
saat ini menjadi isu besar. Penegakan hukum tertatih-tatih. Praksis politik
yang dari dasarnya kekuasaan cenderung dan mudah korup memperoleh lahan subur
dalam masyarakat yang tak berkarakter. Dianutlah salah satu sisi nasihat filsuf
politik Niccollo Machiavelli, yang diterjemahkan dalam bentuk tidak etis dan
koruptif. Sifatnya massa!.
Bagaimana
mengatasinya?. Lakukan analisis konten!. Maka apa yang terlihat dari media
sehari-hari adalah panorama kemerosotan moral. Isu-isu besar, mulai dari kasus
Gayus Tambunan, kebohongan kepada publik, tersanderanya parpol-parpol besar
dengan kasus-kasus keuangan sebagai kartu truf masing-masing, hingga lebih dari
60 persen kepala daerah dalam kondisi bermasalah yang menunjukkan betapa bangsa
ini menuju ke kondisi negara gagal seperti yang digagas Francis Fukuyama.
Kondisi negara gagal (the failed country) tidak terjadi asal, adakah
kesadaran dari kegagalan itu?. Jawabannya dibantah langsung, padahal seharusnya
ditangkap sebagai pelecut perbaikan diri dan bukan dihindari.
Lima M dalam
proses manajemen yang terdiri atas manusia, mesin, materi, money (uang) dan
metode sebagai pusat sehingga manusia hanya dilihat seberapa besar
kompetensinya. Manusia adalah sumber daya, tidak didasari manusia itu punya
aspirasi, kebajikan dan seterusnya.
Tidak
memanusiawikan manusia itu bersumber pada cara berfikir yang dilihat dari sisi
kompetensi sebagai kesalahan pertama. Kesalahan lainnya dilupakan seperti apa
yang dilakukan para bapak bangsa kita, Indonesia. Mereka berhasil melakukan
pendidikan karakter sehingga menjadi sosok yang berkarakter kuat.
Dalam praksis
pendidikan karakter yang produktif, mengutip pendapat Rush Kidder, diperlukan
pemberdayaan tenaga guru, efektif meningkatkan penalaran moral dan tidak hanya
selesai pada teori Ilmu pengetahuan tetapi juga dipraktikkan.
Referensi : Harian Kompas 11/03/11 dengan sedikit pengubahan kata.
0 comments:
Post a Comment