Thursday, March 13, 2014

"Pendidikan Inklusi" Sejarah, Tujuan dan Keistemewaannya

Hasil gambar untuk pendidikan inklusif 
Sekolah inklusi adalah sebuah metamorfosa budaya manusia yang semakin moderen dan mengglobal. Bahwa setiap manusia adalah sama, punya hak yang sama dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan demi mengejar kehidupannya yang lebih baik. Tanpa melihat apakah warna kulitnya, rasnya, agama, maupun bawaan genetiknya, setiap orang berhak untuk sejajar dalam berkependidikan. Sekolah inklusi merupakan salah satu jawaban, bahwa pendidikan tak mengenal diskriminasi, bahwa semua berhak untuk mendapatkannya.
     

Sejarah Lahirnya Pendidikan Inklusi
Cikal bakal lahirnya pendidikan inklusi bisa dikatakan berawal dari sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa berasrama dan institusi berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa yang tinggal disana mengembangkan suatu pola perilaku yang biasanya ditunjukkan oleh orang yang kekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup kepasifan, stimulasi diri, perilaku repetitive stereotip dan kadang-kadang perilaku perusakan diri. Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah luar biasa berasrama seringkali tidak merasa betah tinggal dengan keluarga nya di komunitas di rumahnya. Ini karena setelah bertahun-tahun disegregasikan / dipisahkan, ia dan keluarganya serta komunitasnya akan tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.

Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa situasi tersebut tidak benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai kesadaran politik pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan hak anak serta orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebiah lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. Ini merupakan awal pembaharuan menuju normalisasi yang akhirnya mengarah pada proses inklusi.[1]
Legitimasi awal bagi pelaksanaan pendidikan inklusi dalam dunia internasional sendiri tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi pada tahun 1948. Konferensi ini mengemukakan gagasan mengenai Pendidikan untuk semua (Education for AII/EFA) dimana dinyatakan bahwa pendidikan dasar harus wajib dan bebas biaya bagi setiap anak. Konferensi dunia yang khusus membahas EFA kemudian baru diadakan pada tahun 1990 dan berlangsung di Jomtien, Thailand. Para peserta menyepakati pencapaian tujuan pendidikan dasar bagi semua anak dan orang dewasa pada tahun 2000. Konferensi Jomtien merupakan titik awal dari pergerakan yang kuat bagi semua negara untuk memperkuat komitmen terhadap EFA.
Dalam pergerakan EFA, anak dan orang dewasa penyandang cacat adalah salah satu kelompok target. Oelh karena itu, dunia internasional kemudian mengadakan konferensi yang secara khusus membahas pendidikan kebutuhan khusus. Konferensi ini pertama kali diadakan di Salamanca pada tahun 1994 dan yang kedua diadakan di Dakar pada tahun 2000. Keduanya dihadiri oleh Indonesia dalam konferensi dunia Salamanca, pendidikan inklusi ditetapkan sebagai prinsip dalam memenuhi kebutuhan belajar kelompok-kelompok yang kurang beruntung, terpinggirkan dan terkucilkan. Upaya-upaya tindak lanjut bagi pendidikan kebutuhan khusus hingga sekarang diamanatkan kepada UNESCO.
Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak penyandang cacat juga ditempatkan disekolah umum namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat “siap” untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka sistem dipandang yang bermasalah.[2]
 Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.[3]
Penerapan pendidikan Inklusi memiliki beberapa landasan sebagai azas dalam pelaksanaannya. Adapun landasan tersebut yaitu : landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris.[4]
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi, politik dan sebagainya. Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kecacatan dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau agama. Kecacatan dan keberbakatan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedan suku, bahasa, budaya atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragaam, sehingga mendororng sikap silih asah, silih asih dansilih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini adalah penegasan kembali atas deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Di Indonesia, penefrapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik penyandang cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.
Landasan  pedagogis, seperti yang dijelaskan pada pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik penyandang cacat dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
Landasan Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang inklusi yang telah banyak dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa pakarbahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut)atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985 - 1986) terhadap 11 buah penelitian dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak penyandang cacat dan teman sebayanya.
 
Tujuan dan Keistimewaan Pendidikan Inklusi
        Tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson (Lay Kekeh Marthan, 2007: 189-190), terbagi menjadi 3 yakni bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah, bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Bagi anak berkebutuhan khusus
a. Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya. 
b. Anak akan memperoleh bermacam-macam sumber untuk belajar dan bertumbuh.
c. Meningkatkan harga diri anak.
d. Anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalin persahabatan bersama teman yang sebaya.
2. Bagi pihak sekolah
a. Memperoleh pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan dalam satu kelas.
b. Mengembangkan apresiasi bahwa setiap orang memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya. 
c. Meningkatkan kepekaan terhadap keterbatasan orang lain dan rasa empati pada keterbatasan anak.
d. Meningkatkan kemampuan untuk menolong dan mengajar semua anak dalam kelas.
3. Bagi guru
a. Membantu guru untuk menghargai perbedaan pada setiap anak dan mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki kemampuan.
b. Menciptakan kepedulian bagi setiap guru terhadap pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah.
d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
4. Bagi masyarakat
a. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.
b. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi.
c. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar anggota masyarakat.
          Banyak orang yang mempertanyakan mengapa harus melalui pendidikan inklusi. Berbagai pertanyaan itu kini sudah mulai terjawab. Keistimewaan pendidikan inklusi itu diantaranya bagi anak berkebutuhan khusus, akan terhindar dari label negatif.  Hal ini karena anak-anak difabel bisa bersosialisasi secara luas di sekolah umum yang mempunyai tingkat keragaman yang berbeda-beda (Yusuf, 2007).
         Selain itu menurut Raharjo (2009), memiliki kesamaan menyesuaikan diri. Dengan bersekolah di sekolah umum, siswa difabel  mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi dengan civitas akademika sekolah secara lebih luas, dan mempunyai lebih banyak teman. Dengan demikian kesempatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat optimal, dan mempunyai tingkat kematangan sosial yang lebih baik dari pada bersekolah di sekolah ekslusi.
         Keberadaan sekolah inklusi juga akan memberikan kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak difabel pun mampu seperti anak pada umumnya, dan akan menjadi pegangan diri yaitu dengan belajar secara kompetitif, eksistensi anak difabel akan  teruji dalam persaingan secara sehat denga anak pada umumnya (Sukadari, 2008).
         Bagi anak yang tanpa berkebutuhan khusus akan belajar mengenai keterbatasan tertentu. Ketika siswa belajar bersama dengan temannya yang mempunyai kemampua berbeda, ia akanbelajar tentang orang lain. Ia akan mempunyai pandangan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, yang dari sana ia akan belajar memahami dan bagaimana bersikap dan berteman dengan orang difabel. Kemampuan dan pengalaman seperti ini sulit didapatkan oleh siswa yang bersekolah regular yang tidak mengembangkan pendidikan inklusi. Selain itu dapat mengembangkan ketrampilan sosial. Siswa yang normal akan mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya bersekolah bersama difabel dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sekolah yang inklusif secara langsung maupun tidak langsung memberikan pendidikan kepada siswa bagaimana ia berinteraksi, bersikap dan bertingkh laku dengan masyarakat yang sangat heterogen (Sukadari, 2008).



[1]               Berit H. Johnsen dan Miriam D. Skjorten, Pendidikan Kebutuhan Khusus – Sebuah Pengantar. (Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 2003). Hal 35
[2]               Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusif, (Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2003).
[3]               Suparjo,  Pendidikan Inklusi, http://apsijbi2013.blogspot.com/2013/01/pendidikan-inklusi-suparjomphil_16.html diakses pada 6 Maret 2013.
[4]               Mengenal Pendidikan Inklusi, www.ditplb.or.id diakses pada tanggal 6 Maret 2013.
 
Share:

0 comments: