Sekolah
inklusi adalah sebuah metamorfosa budaya manusia yang semakin moderen dan
mengglobal. Bahwa setiap manusia adalah sama, punya hak yang sama dan
kesempatan yang sama untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan demi mengejar
kehidupannya yang lebih baik. Tanpa melihat apakah warna kulitnya, rasnya,
agama, maupun bawaan genetiknya, setiap orang berhak untuk sejajar dalam
berkependidikan. Sekolah inklusi merupakan salah satu jawaban, bahwa pendidikan
tak mengenal diskriminasi, bahwa semua berhak untuk mendapatkannya.
Sejarah
Lahirnya Pendidikan Inklusi
Cikal bakal lahirnya pendidikan inklusi bisa
dikatakan berawal dari sebuah pengamatan terhadap sekolah luar biasa berasrama
dan institusi berasrama lainnya yang menunjukkan bahwa anak maupun orang dewasa
yang tinggal disana mengembangkan suatu pola perilaku yang biasanya ditunjukkan
oleh orang yang kekurangan. Perilaku-perilaku ini mencakup kepasifan, stimulasi
diri, perilaku repetitive stereotip dan kadang-kadang perilaku perusakan diri.
Anak penyandang cacat yang meninggalkan sekolah luar biasa berasrama seringkali
tidak merasa betah tinggal dengan keluarga nya di komunitas di rumahnya. Ini
karena setelah bertahun-tahun disegregasikan / dipisahkan, ia dan keluarganya
serta komunitasnya akan tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.
Banyak orang yang kemudian benar-benar merasa
situasi tersebut tidak benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai
kesadaran politik pun mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan
hak anak serta orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan
utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebiah
lingkungan yang sama dengan orang lain. Mereka menyadari akan pentingnya
interaksi dan komunikasi sebagai dasar bagi semua pembelajaran. Ini merupakan
awal pembaharuan menuju normalisasi yang akhirnya mengarah pada proses inklusi.[1]
Legitimasi awal bagi pelaksanaan pendidikan inklusi
dalam dunia internasional sendiri tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
pada tahun 1948. Konferensi ini mengemukakan gagasan mengenai Pendidikan untuk
semua (Education for AII/EFA) dimana
dinyatakan bahwa pendidikan dasar harus wajib dan bebas biaya bagi setiap anak.
Konferensi dunia yang khusus membahas EFA
kemudian baru diadakan pada tahun 1990 dan berlangsung di Jomtien, Thailand.
Para peserta menyepakati pencapaian tujuan pendidikan dasar bagi semua anak dan
orang dewasa pada tahun 2000. Konferensi Jomtien merupakan titik awal dari
pergerakan yang kuat bagi semua negara untuk memperkuat komitmen terhadap EFA.
Dalam pergerakan EFA,
anak dan orang dewasa penyandang cacat adalah salah satu kelompok target. Oelh
karena itu, dunia internasional kemudian mengadakan konferensi yang secara
khusus membahas pendidikan kebutuhan khusus. Konferensi ini pertama kali
diadakan di Salamanca pada tahun 1994 dan yang kedua diadakan di Dakar pada
tahun 2000. Keduanya dihadiri oleh Indonesia dalam konferensi dunia Salamanca,
pendidikan inklusi ditetapkan sebagai prinsip dalam memenuhi kebutuhan belajar
kelompok-kelompok yang kurang beruntung, terpinggirkan dan terkucilkan.
Upaya-upaya tindak lanjut bagi pendidikan kebutuhan khusus hingga sekarang diamanatkan
kepada UNESCO.
Di Indonesia, pendidikan inklusi sebenarnya telah
dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Sistem
pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan disahkan dengan Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada pendidikan terpadu, anak
penyandang cacat juga ditempatkan disekolah umum namun mereka harus
menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka harus siap dibuat
“siap” untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan pada
anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh
pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri
terhadap kebutuhan anak penyandang cacat. Apabila ada kegagalan pada anak maka
sistem dipandang yang bermasalah.[2]
Menurut data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
Kemendiknas awal tahun 2011 terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan
inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang berkaitan
dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.[3]
Penerapan pendidikan Inklusi memiliki beberapa
landasan sebagai azas dalam pelaksanaannya. Adapun landasan tersebut yaitu :
landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris.[4]
Landasan
filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila yang
merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih
mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003).
Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan
vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di
bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan
fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan
sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi, politik dan
sebagainya. Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kecacatan dan
keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku,
ras, bahasa budaya atau agama. Kecacatan dan keberbakatan tidak memisahkan
peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedan suku, bahasa, budaya
atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan
harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang
beragaam, sehingga mendororng sikap silih asah, silih asih dansilih asuh dengan
semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Landasan
yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah Deklarasi Salamanca
(UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini adalah
penegasan kembali atas deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar
PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu penyandang cacat
memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada.
Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya
belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin
ada pada mereka. Di Indonesia, penefrapan pendidikan inklusi dijamin oleh UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik penyandang
cacat atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau
berupa sekolah khusus.
Landasan
pedagogis, seperti yang dijelaskan pada
pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik penyandang cacat dibentuk
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang
mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini
mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di
sekolah-sekolah luar biasa. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan
bersama teman sebayanya.
Landasan
Empiris ditunjukkan melalui penelitian tentang inklusi yang telah banyak
dilakukan negara-negara barat sejak tahun 1980-an, namun penelitian yang
berskala besar dipelopori oleh The
National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya, menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak penyandang cacat di sekolah, kelas atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar
pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman dan Messick, 1982). Beberapa
pakarbahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan
penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang
sangat heterogen (Baker, Wang dan Walberg, 1994 - 1995).
Beberapa
peneliti kemudian melakukan meta analisis (analisis lanjut)atas hasil banyak
penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale
(1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985 - 1986) terhadap 11
buah penelitian dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik
maupun sosial anak penyandang cacat dan teman sebayanya.
Tujuan dan Keistimewaan Pendidikan
Inklusi
Tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson (Lay Kekeh Marthan, 2007: 189-190), terbagi menjadi 3 yakni bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah, bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson (Lay Kekeh Marthan, 2007: 189-190), terbagi menjadi 3 yakni bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah, bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Bagi anak berkebutuhan khusus
a. Anak akan merasa menjadi bagian dari
masyarakat pada umumnya.
b. Anak akan memperoleh bermacam-macam sumber
untuk belajar dan bertumbuh.
c. Meningkatkan harga diri anak.
d. Anak memperoleh kesempatan untuk belajar
dan menjalin persahabatan bersama teman yang sebaya.
2. Bagi pihak sekolah
a. Memperoleh pengalaman untuk mengelola
berbagai perbedaan dalam satu kelas.
d. Meningkatkan kemampuan untuk menolong dan mengajar semua anak dalam kelas.
3. Bagi guru
c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah.
d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
4. Bagi masyarakat
a. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.
b. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi.
c. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar anggota masyarakat.
b. Mengembangkan apresiasi bahwa setiap
orang memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya.
c. Meningkatkan kepekaan terhadap
keterbatasan orang lain dan rasa empati pada keterbatasan anak.d. Meningkatkan kemampuan untuk menolong dan mengajar semua anak dalam kelas.
3. Bagi guru
a. Membantu guru untuk menghargai perbedaan
pada setiap anak dan mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki
kemampuan.
b. Menciptakan kepedulian bagi setiap guru
terhadap pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.c. Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah.
d. Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
4. Bagi masyarakat
a. Meningkatkan kesetaraan sosial dan kedamaian dalam masyarakat.
b. Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi.
c. Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar anggota masyarakat.
Banyak orang yang mempertanyakan mengapa harus
melalui pendidikan inklusi. Berbagai
pertanyaan itu kini sudah mulai terjawab. Keistimewaan pendidikan inklusi itu
diantaranya bagi anak berkebutuhan khusus, akan terhindar dari label
negatif. Hal ini karena anak-anak difabel bisa bersosialisasi secara luas
di sekolah umum yang mempunyai tingkat keragaman yang berbeda-beda (Yusuf,
2007).
Selain itu
menurut Raharjo (2009), memiliki kesamaan menyesuaikan diri. Dengan bersekolah
di sekolah umum, siswa difabel mempunyai kesempatan untuk bersosialisasi
dengan civitas akademika sekolah secara lebih luas, dan mempunyai lebih banyak
teman. Dengan demikian kesempatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan dapat optimal, dan mempunyai tingkat kematangan sosial yang lebih
baik dari pada bersekolah di sekolah ekslusi.
Keberadaan sekolah inklusi juga akan memberikan
kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak difabel pun mampu seperti anak pada umumnya, dan akan menjadi
pegangan diri yaitu dengan belajar secara kompetitif, eksistensi anak difabel akan teruji dalam persaingan secara sehat denga
anak pada umumnya (Sukadari, 2008).
Bagi anak yang tanpa berkebutuhan khusus akan
belajar mengenai keterbatasan tertentu. Ketika siswa belajar bersama dengan
temannya yang mempunyai kemampua berbeda, ia akanbelajar tentang orang lain. Ia
akan mempunyai pandangan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan,
yang dari sana ia akan belajar memahami dan bagaimana bersikap dan berteman
dengan orang difabel. Kemampuan dan
pengalaman seperti ini sulit didapatkan oleh siswa yang bersekolah regular yang
tidak mengembangkan pendidikan inklusi. Selain itu dapat mengembangkan
ketrampilan sosial. Siswa yang normal akan mengembangkan pengetahuan dan
pengalamannya bersekolah bersama difabel
dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan sekolah yang inklusif secara langsung
maupun tidak langsung memberikan pendidikan kepada siswa bagaimana ia
berinteraksi, bersikap dan bertingkh laku dengan masyarakat yang sangat
heterogen (Sukadari, 2008).
[1] Berit H. Johnsen dan Miriam D.
Skjorten, Pendidikan Kebutuhan Khusus –
Sebuah Pengantar. (Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung 2003). Hal 35
[2] Kebijakan
Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusif, (Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta 2003).
[3]
Suparjo, Pendidikan
Inklusi, http://apsijbi2013.blogspot.com/2013/01/pendidikan-inklusi-suparjomphil_16.html
diakses pada 6 Maret 2013.
[4] Mengenal
Pendidikan Inklusi, www.ditplb.or.id diakses
pada tanggal 6 Maret 2013.
0 comments:
Post a Comment