Seperti judulnya, bagi saya Ephemera adalah suatu sastra fiksi penghilang rasa sakit (hati) atau anestasi hati. Ephemera menjadi salah satu reminder bagi saya, bahwa ketika rasa sakit itu menyergap, saya masih memiliki-Nya dan Dia yang memiliki saya.
Beruntung bisa berkenalan dengan Ephemera saat itu. Saat saya sedang diambang kebosanan menyelesaikan skripsi setahun silam, tepatnya di Mei 2015. Ephemera memberikan angin segar, dikala hati dan fikiran berkecamuk membentur memoar-memoar cinta dan cita.
Saat itu, saya sedang mengerjakan tugas akhir sembari mendengarkan koleksi dari Letto. Sesekali juga melalang buana di dunia maya dan mampir di beranda facebook. Detik itu, ada teman yang posting tentang sebuah novel yang berjudul Ephemera. Apa? Ephemera? Kayak judul lagunya Letto ya, pikirku saat itu. Karena penasaran langsung deh searching di dunia maya tentang novel Ephemera dan langsung ditujukan ke pojok biru-nya mbak Himsa. Mouse laptop lari ke atas, ke bawah, saking asyiknya baca-baca di pojok biru-nya mbak Himsa. Ah, baru sekalinya bertemu, rasanya seperti jatuh cinta pada pandangan pertama dengan cerita-ceritanya.
Ephemera menawarkan sejuta kisah yang sering kita temukan di keseharian. Namun apa yang dituliskan, itulah yang tak sampai kita fikirkan. Kisah yang ditawarkanpun tak muluk-muluk dan semuanya bermuara pada satu kata, yaitu cinta. Suatu kata yang mengisyaratkan keindahan dan kedamaian. Cinta-pun tak hanya melulu kepada manusia tapi juga kepada keadaan. Jadi, jika di sekitar ada (cinta) yang tak menyatu, barangkali itu bukan cinta dan itu (perlu) dipertanyakan. :D
Masih dengan cinta. Kecintaan kepada sesuatu juga perlu dipertimbangankan. Janganlah sampai berlebihan atau terlalu kekurangan. Untuk itu, dalam memaknai cinta diperlukan pemahaman dan keikhlasan. Keikhlasan untuk siap menerima kehilangan, dan keikhlasan untuk siap mendapatkan yang lebih baik, seperti rumus yang dibuat Xizi dan Sasa semasa kuliah (hilang + Ikhlas = kembali).
Dan yang paling memotivasi saya untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih baik adalah selagi kita bisa dan mampu, lakukanlah yang terbaik. Selebihnya biar Tuhan yang mengatur. Kalimat itu bukan berarti kalimat pasrah akan suatu keadaan. Tapi suatu kalimat yang membangkitkan, bahwa sejatinya kita bisa lebih baik di esok hari daripada hari ini dan hari lalu. Tuhan sendiri yang akan bekerja dengan takdir-Nya. Memberikan apa yang menurutnya terbaik untuk kita, meski kadang kita tak mengerti maksud yang dikandungnya. Tak banyak yang paham, bahwa itulah bukti cinta Tuhan kepada kita.
“Kamu boleh memandang langit, tapi tak perlu melayang-layang di langit. Kamu boleh menikmati perasaanmu, tapi jangan biarkan harapan itu tumbuh. Ingatlah, jika anganmu tak sesuai harapan akan kecewa semaunya.”. Kalimat ini menohok banget bagi saya. Sebagai wanita yang mudah jatuh cinta, memiliki rasa seperti ini begitu menyakitkan. Sakit memang, tapi saya menikmatinya. Itulah prinsip yang saya pilih sebelum menikah. Karena saya tidak bisa mencintai laki-laki yang belum sah meminta restu dari ayah. Seperti pesan Ayah, janganlah mendahului takdir, siapa tahu Tuhan sudah pilihkan takdir terbaik untukmu. Bersabar dalam penantian. Pantaskan diri dalam ketaatan. Dan Ephemera selalu menjadi obat penenang ketika hati sudah mulai berontak kesakitan.
Terimakasih mbak Himsa untuk Ephemeranya. Pojok birunya selalu jadi inspirasi untuk terus perbaiki diri menjadi wanita yang tangguh dan mandiri serta berdaya. Meski dikedalaman hati ingin ini itu, tapi jika tak disertai ridho-Nya, rasanya tak ada artinya. Dan, sekarang, bersiap untuk menerima Teka-teki rasa yang pasti akan semakin membuat hati berkibar debar.