Bulir peluh yang ingin ku teteskan itu, tertahan di ulu hati. Sesak, bagai bernafas di ketinggian 4000an mdpl. Pada akhirnya, ku tumpahkan semua sesak dibahumu, malam itu.
Jika boleh aku meminta, seharusnya peristiwa ini tak perlu terjadi, lagi. Aku sudah bertekad untuk tidak mengulang lagi. Namun, nyatanya aku harus mengulang lagi, remidi lagi dan sakit hati lagi. Jauh-jauh hari aku mengatakan jika, jangan membumbung rasa yang belum direstui ini.
Sayangmu tulus, aku tahu. Aku bisa merasakannya saat aku didekatmu. Tapi maaf, setulus-tulusnya sayangmu belum bisa aku balas dengan sepadan. Ada ragu dan khawatir yang tak bisa ku jelaskan sampai sekarang.
Sudah jelas, jika memang hubungan kita tersendat jarak sepersekian kilo. Belum juga tersendat restu orang tua akibat jarak itu sendiri. Entahlah, mungkin aku terlalu takut terpisah jauh dengan orang tuaku.
Sebelum terlanjur nyaman.
Sebelum terlalu sayang.
Maafkan aku Mas, bukannya aku tidak mau membersamaimu berjuang untuk bertahan. Tapi, aku harus memperjuangkan diriku sendiri. Banyak yang masih harus ku perbaiki. Dan memang sudah seharusnya kamu berjuang sendiri.
Sesak ini masih nampak, berselingan menghirup aroma kenangan yang sudah mengakar.
Surakarta, 14 Juli 2018