Saturday, April 21, 2012

CintaMu, Sempurnakan Hidupku


“Aisy, tumben kakakmu belum datang?. Jangan-jangan lupa lagi buat jemput kamu. Coba gih di hubungin lagi.” Sela Rahma sembari membenarkan kaos kaki panjangnya.
“Katanya masih on the way gitu.” Jawab Aisyah.
“Sebenarnya aku ndak tega ninggalin kamu disini. Tapi....”
“Udah Ma, kamu pulang saja. Nenek pasti sudah menunggu kedatanganmu. Kamu nggak ingin jadi cucu durhaka kan?” Jawab Aisyah serta menggenggam erat tangan Rahma. “Bentar lagi kakakku pasti juga datang.”
“Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu ya Aisy, Assalamu’alaikum...” Ucap Rahma seraya pergi berjalan meninggalkan Aisyah.
        “Wa’alaikumsalam. Hati-hati Ma...”
*****
        Alhamdulillah kerjaanku di masjid ini telah usai. Sebagai takmir Masjid Al Aziz ini, aku harus selalu menjaga kebersihan dan kenyamanan masjid. Ngepel, mencuci karpet hingga membersihkan halaman masjid adalah tugas seharianku disini. Meskipun tak dibayar tapi aku ikhlas melakukan semua ini. Toh, Allah yang akan membayarnya kelak.
     Di sore ini aku melihat seorang wanita yang mungkin aku bisa menyebutnya seorang akhwat. Dia duduk di serambi masjid sambil membaca buku. “Astagfirullah...” sadar Arfan, cukup sekali saja kamu memandangnya.
    Maghrib beranjak menapaki peraduan malam, jamaah sholatpun tlah banyak yang beranjak pergi. Namun, si akhwat tadi masih saja berada di serambi Masjid. Tak sengaja aku meliriknya dari balik bilik. Raut wajahnya seperti sedang gelisah. Ingin aku menyapa ukhti itu, namun rasa malu dalam hatiku rupanya mengalahkan semuanya. Hingga akhir Isya’ akhwat itu masih menunggu di serambi masjid. Raut wajahnya tampak kalau sebenarnya ia sangat cemas. Apalagi masjid juga mulai sepi ditinggalkan para jama’ah. Timbul belas kasihanku untuk menghampirinya. Mungkin aku bisa membantu masalahnya.
“Assalamu’alaikum Ukhti...” Sapaku
“Wa’alaikumsalam...” Jawabnya seraya menunduk malu
“Apa yang Ukhti lakukan disini, malam-malam seperti ini?. Mungkin ada yang bisa saya bantu?”
“Syukron Katsir Akhi. Saya sedang menunggu kakak saya. Saya telah memintanya untuk menjemput saya disini sejak sore tadi. Tapi sampai sekarang dia belum juga tampak, saya khawatir terjadi apa-apa dengannya.” Jawabnya lembut dibalik kegelisahan yang tersirat.
“Apakah Ukhti sudah menghubunginya lagi?.”
“Sudah saya telepon, tapi rupanya sedang sibuk. Mungkin sebaiknya saya harus pulang sendiri.”
“Jika ukhti tak keberatan, bolehlah saya mengantar pulang. Saya tidak tega melihat seorang wanita berjalan sendirian di tengah malam seperti ini.”
“Tapi...”
“Tenanglah ukh, saya hanya ingin mengantar ukhti saja hingga selamat sampai rumah.”
“Baiklah... Syukron Akhi...”
       Aku segera masuk kedalam masjid dan mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Ku ambil sepeda motorku yang terparkir di halaman masjid. Dengan tetap merunduk akhwat itu naik di atas motorku dan berboncengan denganku. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan sama sekali. Hanya sekali ketika ku tanya alamat rumahnya yang ternyata hanya berjarak satu kilo dari Masjid Al Aziz.
“Syukron katsir akhi.” Ucapnya yang masih kekeuh menundukkan wajahnya.
“Afwan ukhti. Saya langsung saja balik pulang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
     Di perjalanan, tiba-tiba handphoneku berdering. Sekejap aku langsung menghentikan laju motorku. Sms dari Nabil, sahabat karibku. Dia mengabarkan bahwa Haris, teman seperjuangan kami mengalami kecelakaan parah sepulang dari ngajar Qiro’ah di sebuah Madrasah Tsanawiyah, tempatnya berkerja. Innalilallahi wa inna ilaihi roji’un, aku harus segera ke rumah sakit sekarang.
       Jujur aku sangat mengkhawatirkan keadaan karibku ini. Bagaimana tidak, dialah selama ini yang selalu memotivasi orang penyakitan yang mudah berputus asa seperti aku ini. Bahkan dia pernah menyadarkanku suatu ketika saat aku ingin mengakhiri hidupku dengan meminum  racun tikus.
“Fan, bunuh diri hanya akan menyiksamu dunia akhirat. Kamu akan merasakan betapa sakitnya mati tanpa persetujuan dari sang juru pati. Belum lagi ketika kamu sudah mati. Langit dan bumi tidak akan mau menerima jasad dan nyawamu. Mau lari kemana kamu...” Nasihatnya.
“Aku sudah tidak tahan menghadapi semua ini Ris. Aku sangat menderita. Terkadang aku harus merasakan sakit yang sangat hebat di kepalaku. Bukankah lebih baik aku mati, dengan begitu aku akan terbebas dari rasa sakit ini.”
“Neraka menunggumu Fan.” Ucapnya tegas
       Seketika itu aku luluh. Betapa bodohnya aku jika aku berhasil mematikan jasadku sendiri. Astagfirullah, betapa malunya aku ketika mengingat peristiwa itu.
*****
     Sesampainya di rumah sakit, aku hanya melihat Nabil yang telah letih menungguku. Setahuku Haris memang tidak punya keluarga lagi disini kecuali adik perempuannya yang belum kuketahui namanya. Ayah ibunya telah lama meninggal. Sedangkan saudara yang lainnya tinggal di Surabaya. Nabil terlihat payah melihat kedatanganku.
“Bil, gimana keadaan Haris?”
“Aku belum tahu keadaannya. Dia terluka parah. Sekarang dokter sedang berjuang memberikan pertolongan di ruang Instalasi Gawat Darurat. Kita pasrahkan semua kepada Allah.”
     Tiba-tiba aku merasakan sakit di kepala yang sangat hebat. Hingga ku jatuhkan tubuhku tepat di atas kursi samping pintu ruang IGD.
“Fan, kamu kenapa?. Hidungmu berdarah.” Tanya Nabil cemas
“Kambuh lagi Bil. Sakit sekali rasanya.”
“Bentar Bil, ku panggilkan suster. Susteer... Susterr...”
    Sayup-sayup kudengar suara Nabil memanggil suster. Semakin lama semakin lirih terdengar, hingga akhirnya semua menjadi gelap.
*****
        Perlahan kubuka mata. Kuamati sekeliling. Putih. Apakah ini di Surga?.
“Arfan... kamu sadar nak?” tangis isak ibuku mengisyaratkan bahwa ternyata aku belum mati.
“Ibu... maafkan Arfan telah membuat ibu menangis.”
“Tidak sayang.”
       Haris sahabatku, bagaimana keadaannya.
“Haris... Haris...” Aku berusaha bangkit dari ranjang putih ini. “Ah...” kepalaku terasa sakit.
“Sayang, tenanglah. Kamu belum boleh banyak gerak.”
“Bagaimana keadaan Haris, Bu?.”
     Ibu mulai terisak lagi. Seakan menyembunyikan sesuatu dariku tentang Haris. Ibu telah menganggap Haris dan Nabil layaknya aku, seperti anak kandungnya sendiri.
“Haris...” Nafasnya tertahan untuk beberapa saat
“Haris kenapa  Bu, dimana dia sekarang?” Tak sabar ingin ku mendengar jawaban dari Ibu.
“Haris, sekarang sudah tenang sayang. Dia telah dipanggil olehNya.”
“Haris... tidak mungkin...” Air mataku menetes deras. Seakan belum rela jika sahabat baikku itu pergi untuk selama-lamanya. Ya Robbi, apa salah dia? Bukankah dia seorang hamba yang begitu taat manjalankan segala perintahMu?. Mengapa dia harus menemui ajalnya dengan cara yang seperti ini?. Aku terisak perih, kehilangan sahabat yang aku kasihi.
*****
    Beberapa hari ini aku harus mondok di rumah sakit dan hanya bisa terbaring lemah diatas ranjang putih. Sungguh membosankan hidup seperti ini. Arrgggggghhh.
“Kraaaakkk”
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara dari balik pintu yang ternyata adalah Nabil, karibku.
“Wa’alaikumsalam... Nabil...” Sambutku sumringah.
Khaifa hal Akh?”
“Ya, seperti inilah keadaanku sekarang. Arfan yang terkalahkan oleh suatu penyakit.” jawabku pasrah
“Sabar kawan. Ingat, sakit adalah salah satu perantara untuk membersihkan dosa-dosamu.”
“Yaaa...” kataku sambil memalingkan wajah, menatap jendela yang basah karena sapuan hujan yang lembut.
“Mungkin aku tak sepandai Haris untuk menasihatimu, tapi ini ada surat terakhir dari Dia untukmu.” Nabil menyelipkan sepucuk surat itu dijemariku. “Aisyah yang menuliskan surat itu sesaat sebelum ia benar-benar pergi.”
“Aisyah?”
“Dia adalah adik perempuan Haris.”
      Perlahan kubuka lipatan surat itu. Kubaca lamat-lamat. Kupahami arti per kata.
      Sahabatku Arfan...
      Mungkin ketika kamu baca surat ini aku telah pergi untuk selamanya.
   Arfan, terima kasih karena selama ini kamu mau menjadi sahabatku. Sahabat terbaik yang pernah ku punya, bersama Nabil juga tentunya. Aku sudah menganggap kalian sebagai saudara kandungku sendiri. Arfan, satu permintaan terakhirku untukmu. Nikahilah adikku, Aisyah. Aku ingin kamu yang menjaganya. Biarlah dia yang menggantikan posisiku. Buat jaga-jaga boy jika kamu mau bunuh diri lagi. Hehehe....
     Aku yakin kamu mampu menjadi imam yang baik untuknya. Aisyah sudah setuju dengan keputusanku ini. Semoga Allah memberkahi pernikahan kalian nanti. Aku akan menyaksikannya dari langit kelak. Terima kasih untuk semua dan segalanya.
                                                                        Haris, Sahabatmu J
       
        Deg, jantungku berhenti berdetak, untuk kesekian detik selanjutnya.
*****
    Cerah. Itulah komentarku untuk hari ini. Dan aku akan melangsungkan akad nikah di pagi ini.
“Sudah siapkah engkau kawan?.” Celetuk Nabil dikala senggang menunggu calon istriku datang.
“Aku tak menyangka jika akhwat yang aku bonceng malam itu adalah Aisyah.”
“Kamu pernah bertemu dengan dia sebelumnya?.”
“Iya, kala itu ku lihat dia sedang gelisah di Masjid kita. Katanya menunggu kakaknya yang ternyata adalah Haris, sohib kita. Aku mengantarkannya pulang, yang ternyata dia tinggal di Asrama Mahasiswa Putri  Asli Surabaya. Mana aku tahu sebelumnya kalau dia ternyata Adiknya Haris. Dan ternyata memang benar, akhwat yang aku bonceng malam itu kini akan menjadi bidadariku.”
“Subhanallah, mungkin Allah memang telah mempertemukan kalian di kala itu. Aku turut senang sob.”
“Tapi, kenapa Haris begitu percayanya denganku untuk menikahi adiknya?. Kenapa bukan sama kamu gitu Bil?.”
“Arfan... kamu sudah baca suratnya Haris kan?. Dia ingin Aisyah gantiin posisinya buat nenangin kamu jika sok kamu pengen bunuh diri lagi. Kalau buat aku, bagaimana dengan Raisya?. Bukankah aku telah berjanji untuk menikahinya setelah dia lulus kuliah nanti.”
“Sabar sob, dua bulan lagi Raisya akan wisuda kok. Jangan lupa nanti aku dikirim undangannya ya.”
“Insya Allah. Sob, calon istrimu udah datang tuh.” Kata Nabil seraya menunjukkan pada sesosok wanita berbaju putih diujung pintu.
“Subhanallah, cantik sekali bidadariku ini. Semoga engkau akan terus menjadi permaisuri hatiku, Aisyah.” Bisikku dalam qalbu.
*****
      Sore ini begitu indah. Ditemani rerintik hujan yang jatuh perlahan di akhir Desember. Bersama putri kecilku aku menikmati senja ini di beranda rumah. Istriku sedang menyiapkan makan malam di dapur. Ya Allah, Alhamdulillah atas semua anugrah yang Engkau berikan kepadaku. Sampai saat ini aku masih bisa merasakan hidup, meskipun setahun yang lalu dokter menyatakan bahwa, penyakit kanker yang aku derita ini telah mencapai stadium akhir. Namun nyatanya, Allah masih mempercayakan aku untuk terus hidup, mendampingi istriku dalam membesarkan buah hati kami. Syukur tak hentinya aku sebutkan kepadaMu. Aku berjanji akan menjaga permaisuriku dan takkan melalaikannya. Aku akan menjaga buah hatiku untuk terus mencintaiMu, seperti dia mencintaiku. Alhamdulillah untuk semua yang telah engkau berikan kepadaku.
      Senja berlalu seiring dengan berkumandangnya adzan Maghrib.
“Ayah, Aira sedih.”
“Kenapa Aira sedih?.”
“Hujan ayah, pasti tidak ada yang mengaji di Masjid malam ini.” katanya polos.
“Kan Aira bisa ngaji bareng Ayah dan Bunda dirumah. Jadi, Aira ndak perlu sedih." ucapku sembari memberi anakku senyum ketenangan
“Hmmm… Ya Allah, cintailah Ayah dan Bundaku. Seperti Engkau yang mencintaiku dengan hadirnya Ayah Bunda disampingku.” Katanya seraya memelukku hangat.
     Senyum tersungging dari bibir mungilnya. Dia beranjak dari pangkuanku dan mengajakku masuk kedalam rumah.
       


Di hari-hari ku menyambut janji.                                                              Yogyakarta, 18/01/12, 11:14 pm
Share:

0 comments: