“Aisy,
tumben kakakmu belum datang?. Jangan-jangan lupa lagi buat jemput kamu. Coba gih
di hubungin lagi.” Sela Rahma sembari membenarkan kaos kaki panjangnya.
“Katanya masih on the way gitu.”
Jawab Aisyah.
“Sebenarnya aku ndak tega ninggalin kamu
disini. Tapi....”
“Udah Ma, kamu pulang saja. Nenek pasti
sudah menunggu kedatanganmu. Kamu nggak ingin jadi cucu durhaka
kan?” Jawab Aisyah serta menggenggam erat tangan Rahma. “Bentar lagi kakakku
pasti juga datang.”
“Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu
ya Aisy, Assalamu’alaikum...” Ucap Rahma seraya pergi berjalan meninggalkan
Aisyah.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati Ma...”
*****
Alhamdulillah kerjaanku di masjid ini
telah usai. Sebagai takmir Masjid Al Aziz ini, aku harus selalu menjaga
kebersihan dan kenyamanan masjid. Ngepel, mencuci karpet hingga membersihkan
halaman masjid adalah tugas seharianku disini. Meskipun tak dibayar tapi aku
ikhlas melakukan semua ini. Toh, Allah yang akan membayarnya kelak.
Di sore ini aku melihat seorang wanita yang mungkin aku bisa
menyebutnya seorang akhwat. Dia duduk di serambi masjid sambil membaca buku.
“Astagfirullah...” sadar Arfan, cukup sekali saja kamu memandangnya.
Maghrib beranjak menapaki peraduan malam,
jamaah sholatpun tlah banyak yang beranjak pergi. Namun, si akhwat tadi masih
saja berada di serambi Masjid. Tak sengaja aku meliriknya dari balik bilik.
Raut wajahnya seperti sedang gelisah. Ingin aku menyapa ukhti itu, namun rasa
malu dalam hatiku rupanya mengalahkan semuanya. Hingga akhir Isya’ akhwat itu
masih menunggu di serambi masjid. Raut wajahnya tampak kalau sebenarnya ia
sangat cemas. Apalagi masjid juga mulai sepi ditinggalkan para jama’ah. Timbul
belas kasihanku untuk menghampirinya. Mungkin aku bisa membantu masalahnya.
“Assalamu’alaikum Ukhti...” Sapaku
“Wa’alaikumsalam...” Jawabnya seraya
menunduk malu
“Apa yang Ukhti lakukan disini,
malam-malam seperti ini?. Mungkin ada yang bisa saya bantu?”
“Syukron Katsir Akhi. Saya sedang
menunggu kakak saya. Saya telah memintanya untuk menjemput saya disini sejak
sore tadi. Tapi sampai sekarang dia belum juga tampak, saya khawatir terjadi
apa-apa dengannya.” Jawabnya lembut dibalik kegelisahan yang tersirat.
“Apakah Ukhti sudah menghubunginya lagi?.”
“Sudah saya telepon, tapi rupanya sedang
sibuk. Mungkin sebaiknya saya harus pulang sendiri.”
“Jika ukhti tak keberatan, bolehlah saya
mengantar pulang. Saya tidak tega melihat seorang wanita berjalan sendirian di
tengah malam seperti ini.”
“Tapi...”
“Tenanglah ukh, saya hanya ingin
mengantar ukhti saja hingga selamat sampai rumah.”
“Baiklah... Syukron Akhi...”
Aku segera masuk kedalam masjid dan
mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Ku ambil sepeda motorku yang
terparkir di halaman masjid. Dengan tetap merunduk akhwat itu naik di atas
motorku dan berboncengan denganku. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan
sama sekali. Hanya sekali ketika ku tanya alamat rumahnya yang ternyata hanya
berjarak satu kilo dari Masjid Al Aziz.
“Syukron katsir akhi.” Ucapnya yang
masih kekeuh menundukkan wajahnya.
“Afwan ukhti. Saya langsung saja balik
pulang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Di perjalanan, tiba-tiba handphoneku
berdering. Sekejap aku langsung menghentikan laju motorku. Sms dari Nabil,
sahabat karibku. Dia mengabarkan bahwa Haris, teman seperjuangan kami mengalami
kecelakaan parah sepulang dari ngajar Qiro’ah di sebuah Madrasah Tsanawiyah,
tempatnya berkerja. Innalilallahi wa inna ilaihi roji’un, aku harus segera ke rumah
sakit sekarang.
Jujur aku sangat mengkhawatirkan keadaan
karibku ini. Bagaimana tidak, dialah selama ini yang selalu memotivasi orang
penyakitan yang mudah berputus asa seperti aku ini. Bahkan dia pernah
menyadarkanku suatu ketika saat aku ingin mengakhiri hidupku dengan
meminum racun tikus.
“Fan, bunuh diri hanya akan menyiksamu
dunia akhirat. Kamu akan merasakan betapa sakitnya mati tanpa persetujuan dari
sang juru pati. Belum lagi ketika kamu sudah mati. Langit dan bumi tidak akan
mau menerima jasad dan nyawamu. Mau lari kemana kamu...” Nasihatnya.
“Aku sudah tidak tahan menghadapi semua
ini Ris. Aku sangat menderita. Terkadang aku harus merasakan sakit yang sangat
hebat di kepalaku. Bukankah lebih baik aku mati, dengan begitu aku akan terbebas
dari rasa sakit ini.”
“Neraka menunggumu Fan.” Ucapnya tegas
Seketika itu aku luluh. Betapa bodohnya
aku jika aku berhasil mematikan jasadku sendiri. Astagfirullah, betapa malunya
aku ketika mengingat peristiwa itu.
*****
Sesampainya di rumah sakit, aku hanya
melihat Nabil yang telah letih menungguku. Setahuku Haris memang tidak punya
keluarga lagi disini kecuali adik perempuannya yang belum kuketahui namanya.
Ayah ibunya telah lama meninggal. Sedangkan saudara yang lainnya tinggal di Surabaya.
Nabil terlihat payah melihat kedatanganku.
“Bil, gimana keadaan Haris?”
“Aku belum tahu keadaannya. Dia terluka
parah. Sekarang dokter sedang berjuang memberikan pertolongan di ruang
Instalasi Gawat Darurat. Kita pasrahkan semua kepada Allah.”
Tiba-tiba aku merasakan sakit di kepala
yang sangat hebat. Hingga ku jatuhkan tubuhku tepat di atas kursi samping pintu
ruang IGD.
“Fan, kamu kenapa?. Hidungmu berdarah.”
Tanya Nabil cemas
“Kambuh lagi Bil. Sakit sekali rasanya.”
“Bentar Bil, ku panggilkan suster. Susteer...
Susterr...”
Sayup-sayup kudengar suara Nabil
memanggil suster. Semakin lama semakin lirih terdengar, hingga akhirnya semua
menjadi gelap.
*****
Perlahan kubuka mata. Kuamati
sekeliling. Putih. Apakah ini di Surga?.
“Arfan... kamu sadar nak?” tangis isak
ibuku mengisyaratkan bahwa ternyata aku belum mati.
“Ibu... maafkan Arfan telah membuat ibu
menangis.”
“Tidak sayang.”
Haris sahabatku, bagaimana keadaannya.
“Haris... Haris...” Aku berusaha bangkit
dari ranjang putih ini. “Ah...” kepalaku terasa sakit.
“Sayang, tenanglah. Kamu belum boleh
banyak gerak.”
“Bagaimana keadaan Haris, Bu?.”
Ibu mulai terisak lagi. Seakan
menyembunyikan sesuatu dariku tentang Haris. Ibu telah menganggap Haris dan
Nabil layaknya aku, seperti anak kandungnya sendiri.
“Haris...” Nafasnya tertahan untuk
beberapa saat
“Haris kenapa Bu, dimana dia sekarang?” Tak sabar ingin ku
mendengar jawaban dari Ibu.
“Haris, sekarang sudah tenang sayang.
Dia telah dipanggil olehNya.”
“Haris... tidak mungkin...” Air mataku
menetes deras. Seakan belum rela jika sahabat baikku itu pergi untuk
selama-lamanya. Ya Robbi, apa salah dia? Bukankah dia seorang hamba yang begitu
taat manjalankan segala perintahMu?. Mengapa dia harus menemui ajalnya dengan
cara yang seperti ini?. Aku terisak perih, kehilangan sahabat yang aku kasihi.
*****
Beberapa hari ini aku harus mondok di rumah
sakit dan hanya bisa terbaring lemah diatas ranjang putih. Sungguh membosankan
hidup seperti ini. Arrgggggghhh.
“Kraaaakkk”
“Assalamu’alaikum.”
Terdengar suara dari balik pintu yang ternyata adalah Nabil, karibku.
“Wa’alaikumsalam... Nabil...” Sambutku
sumringah.
“Khaifa hal Akh?”
“Ya, seperti inilah keadaanku sekarang.
Arfan yang terkalahkan oleh suatu penyakit.” jawabku pasrah
“Sabar kawan. Ingat, sakit adalah salah
satu perantara untuk membersihkan dosa-dosamu.”
“Yaaa...” kataku sambil memalingkan
wajah, menatap jendela yang basah karena sapuan hujan yang lembut.
“Mungkin aku tak sepandai Haris untuk
menasihatimu, tapi ini ada surat terakhir dari Dia untukmu.” Nabil menyelipkan
sepucuk surat itu dijemariku. “Aisyah yang menuliskan surat itu sesaat sebelum
ia benar-benar pergi.”
“Aisyah?”
“Dia adalah adik perempuan Haris.”
Sahabatku Arfan...
Mungkin ketika kamu baca surat ini aku
telah pergi untuk selamanya.
Arfan, terima kasih karena selama ini
kamu mau menjadi sahabatku. Sahabat terbaik yang pernah ku punya, bersama Nabil
juga tentunya. Aku sudah menganggap kalian sebagai saudara kandungku sendiri.
Arfan, satu permintaan terakhirku untukmu. Nikahilah adikku, Aisyah. Aku ingin
kamu yang menjaganya. Biarlah dia yang menggantikan posisiku. Buat jaga-jaga boy
jika kamu mau bunuh diri lagi. Hehehe....
Aku yakin kamu mampu menjadi imam yang
baik untuknya. Aisyah sudah setuju dengan keputusanku ini. Semoga Allah
memberkahi pernikahan kalian nanti. Aku akan menyaksikannya dari langit kelak.
Terima kasih untuk semua dan segalanya.
Haris, Sahabatmu J
Deg, jantungku berhenti berdetak, untuk
kesekian detik selanjutnya.
*****
Cerah. Itulah komentarku untuk hari ini.
Dan aku akan melangsungkan akad nikah di pagi ini.
“Sudah siapkah engkau kawan?.” Celetuk
Nabil dikala senggang menunggu calon istriku datang.
“Aku tak menyangka jika akhwat yang aku
bonceng malam itu adalah Aisyah.”
“Kamu pernah bertemu dengan dia
sebelumnya?.”
“Iya, kala itu ku lihat dia sedang
gelisah di Masjid kita. Katanya menunggu kakaknya yang ternyata adalah Haris,
sohib kita. Aku mengantarkannya pulang, yang ternyata dia tinggal di Asrama
Mahasiswa Putri Asli Surabaya. Mana aku
tahu sebelumnya kalau dia ternyata Adiknya Haris. Dan ternyata memang benar,
akhwat yang aku bonceng malam itu kini akan menjadi bidadariku.”
“Subhanallah, mungkin Allah memang telah
mempertemukan kalian di kala itu. Aku turut senang sob.”
“Tapi, kenapa Haris begitu percayanya
denganku untuk menikahi adiknya?. Kenapa bukan sama kamu gitu Bil?.”
“Arfan... kamu sudah baca suratnya Haris
kan?. Dia ingin Aisyah gantiin posisinya buat nenangin kamu jika sok
kamu pengen bunuh diri lagi. Kalau buat aku, bagaimana dengan Raisya?. Bukankah
aku telah berjanji untuk menikahinya setelah dia lulus kuliah nanti.”
“Sabar sob, dua bulan lagi Raisya akan
wisuda kok. Jangan lupa nanti aku dikirim undangannya ya.”
“Insya Allah. Sob, calon istrimu
udah datang tuh.” Kata Nabil seraya menunjukkan pada sesosok wanita berbaju
putih diujung pintu.
“Subhanallah, cantik sekali bidadariku
ini. Semoga engkau akan terus menjadi permaisuri hatiku, Aisyah.” Bisikku dalam
qalbu.
*****
Sore ini begitu indah. Ditemani rerintik
hujan yang jatuh perlahan di akhir Desember. Bersama putri kecilku aku
menikmati senja ini di beranda rumah. Istriku sedang menyiapkan makan malam di
dapur. Ya Allah, Alhamdulillah atas semua anugrah yang Engkau berikan kepadaku.
Sampai saat ini aku masih bisa merasakan hidup, meskipun setahun yang lalu
dokter menyatakan bahwa, penyakit kanker yang aku derita ini telah mencapai
stadium akhir. Namun nyatanya, Allah masih mempercayakan aku untuk terus hidup,
mendampingi istriku dalam membesarkan buah hati kami. Syukur tak hentinya aku
sebutkan kepadaMu. Aku berjanji akan menjaga permaisuriku dan takkan
melalaikannya. Aku akan menjaga buah hatiku untuk terus mencintaiMu, seperti
dia mencintaiku. Alhamdulillah untuk semua yang telah engkau berikan kepadaku.
Senja berlalu seiring dengan
berkumandangnya adzan Maghrib.
“Ayah, Aira sedih.”
“Kenapa Aira sedih?.”
“Hujan ayah, pasti tidak ada yang
mengaji di Masjid malam ini.” katanya polos.
“Kan Aira bisa ngaji bareng Ayah dan
Bunda dirumah. Jadi, Aira ndak perlu sedih." ucapku sembari memberi anakku senyum ketenangan
“Hmmm… Ya Allah, cintailah
Ayah dan Bundaku. Seperti Engkau yang mencintaiku dengan hadirnya Ayah Bunda
disampingku.” Katanya seraya memelukku hangat.
Senyum tersungging dari bibir mungilnya.
Dia beranjak dari pangkuanku dan mengajakku masuk kedalam rumah.
Di
hari-hari ku menyambut janji. Yogyakarta,
18/01/12, 11:14 pm
0 comments:
Post a Comment