Friday, October 12, 2012

Mimpi



Dalam hitam gelap malam, ku berdiri melawan sepi
Disini dipantai ini, telah terkubur sejuta kenangan
Dihempas keras gelombang, yang tertimbun batu karang
Dan takkan mungkin dapat terulang
Desir ombak pantai parangtritis malam ini begitu menyeruak, memecah keheningan malam. Tak nampak orang berlalu lalang disini. Pasti mereka memilih untuk tidur didalam rumah yang hangat dan berkumpul bersama dengan keluarga mereka yang bahagia. Tapi, aku memilih untuk tetap disini. Rebahkan diri diatas lembutnya pasir dan sapuan angin yang mengerutkan nadi. Aku yang kini sendiri, hanya bisa menatap kolong langit, berharap agar belahan jiwaku datang menghampiri dan mengajak pulang ke rumah kami yang mungil.
Ayo, kita foto lompat. Di timer aja kameranya... udah siap?... Yup... Satu... dua... tiga...”

    Foto ini, foto kebersamaan kita. Masih tersimpan apik dalam memori handhphone ku. Foto lompat kita bersama saat disini, dipantai ini, pagi itu. Aku ingin mengulangnya lagi. Aku kangen kalian, Rania  dan terlebih kamu Kak Ranu. Gimana kabarmu sekarang?. Ingat, dulu engkau selalu ada disaat aku butuh, disaat aku sendiri dan disaat aku jenuh di hubunganku dengan Mas Ragil. Jauh-jauh engkau menyusulku sampai ke alun-alun Wonosari hanya untuk memastikanku baik-baik saja dan Rania yang menyuruhmu untuk melakukan itu semua. Tapi sekarang itu tak lagi. Mas Ragil kini telah pergi dan takkan pernah kembali, dan kamu juga takkan pernah ada lagi untukku. Ku dengar sebulan lagi engkau akan menikah dengan Rania. Selamat ya kak. Resti akan selalu mendukung kakak dan dek Rania, meski sekarang aku benar-benar membutuhkan kakak disini.
Wajah putih pucat pasi, tergores luka dihati
Matamu membuka kisah, kasih asmara yang telah terpendam
Hapuskan semua khayalan, tinggalkan satu harapan
Kemana lagi harus ku cari
Kepalaku terasa berat sekali. Samar kulihat semua serba putih. Apakah ini surga dan aku telah mati. Lambat laun terdengar suara yang menggetarkan gendang telingaku.
“Kak Ranu, Kak Res siuman. Kak Res... Kak Res...”
“Res...”
Ternyata aku belum mati. Aku hanya tertidur dirumah sakit. Kepalaku masih terasa pening. Tapi aku sudah paham bahwa suara yang menyentak jantungku itu adalah suara Nia dan Kak Ranu.
“Res, bagaimana keadaanmu. Adakah yang  terasa sakit?”
“Kepalaku masih terasa pening kak.” Jawabku lirih
“Bentar ya, biar Nia panggilkan dokter untukmu. Rania, tolong panggilkan dokter atau suster yang jaga ya.”
“Iya kak.”
Rania segera berlalu meninggalkan Ranu dan Resti di ruang Melati tiga. Suasana menjadi hening. Selama tiga menit berlalu tak ada suara yang terdengar. Hanya tetesan infus yang mengalir masuk lewat selang yang tersambung di nadi Resti mengalun pelan.
“Kenapa kakak kesini?. Kudengar beberapa minggu lagi kakak akan menikah dengan Rania. Seharusnya sekarang kakak mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kalian. Bukan disini.”
“Res, Kenapa kamu bilang seperti itu?. Nia yang mengajakku kesini. Semalam dia mencarimu. Dia ingin meminta bantuanmu untuk ikut mempersiapkan pernikahan kami. Dan, kami telah menemukanmu tak sadarkan diri di bibir pantai.”
“Seharusnya kakak bisa mencegah Nia. Gimana perasaan Nia kak?.” Tangisku pecah
“(tersenyum) Nia tidak apa-apa Res. Dia bisa ngertiin kamu kok.”
“Tapi yang namanya seorang wanita, mana mungkin dia tidak cemburu melihat calon suaminya disini menemani wanita lain yang sudah berstatus janda. Mulut pun kadang masih bisa berbohong kak.”
“Percayalah padaku Res.”
Nia datang bersama Dokter Hilman yang langsung memeriksa keadaan Resti. Beberapa saat kemudian Dokter Hilman mengajak Ranu keluar kamar menuju ruangannya untuk membicarakan keadaan Resti yang sebenarnya.
“Maaf, apakah anda suami dari Mbak Resti?.”
“Bukan Dok, saya temannya.  Suaminya telah meninggal dan sanak saudaranya jauh. Saya dan adek saya tadi keluarganya disini. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Resti Dok?.”
“Baiklah, saya ingin mengabarkan bahwa Resti hamil.”
“(terperanjat kaget) hamil Dok?.” Senyumnya mengembang tanda kesyukuran
“Tapi, kandungannya masih sangat lemah. Dia harus banyak istirahat.”
“Andai saja suaminya masih hidup Dok...”
“Kalo boleh tahu, sudah berapa lama suaminya wafat?.”
“Baru sekitar dua minggu yang lalu Dok. Saya rasa dia sangat terpukul sekali atas kepergian suaminya yang begitu cepat, sehingga dia frustasi dan depresi.”
“Jangan sampai dia terlalu depresi. Itu akan sangat mempengaruhi janin yang dikandungnya.”
“Apa yang harus dilakukan Dok?.”
“Berilah semangat hidup untuknya.”
*****
“Nia, udah lama ya Ranu ndak kemari?.” Tanya mama Nia
“Lagi sibuk dikerjaannya mam.” Jawab Nia cuek
“Tapi ndak biasanya lho. Pasti setiap malam minggu Ranu kesini.”
“Ya, coba Nia sms mam.”
Benar kata mama, tumben malam ini kak Ranu ndak kesini. Sesibuk apapun, dia pasti akan sempatin untuk berkunjung ke rumah. Cobalah tak sms.
     “Kakak lagi dimana? Mama nyariin lho :D” setelah hampir lima menit, muncullah balasan dari Kak Ranu.
Maaf Dek, kk skrg lg di alun2 Wonosari. Nemenin Kak Res.”
Seketika tubuh Nia lemas dan tersandar didinding dekat jendela kamarnya yang terbuka. Tak biasanya kak Ranu pergi tanpa izin apalagi dengan kak Res. Ada rasa berat membuncah dalam hati Nia. Calon suaminya pergi dengan wanita lain yang tak lain adalah sahabatnya. Nia dan Resti pertama kali bersua ketika mereka bersama masuk dalam sebuah organisasi dikampusnya. Usia Resti terpaut dua tahun lebih tua dengan Nia, begitu pula dengan usia akademiknya. Rania masih satu tingkat dibawah Resti. Keduanya menjadi sangat akrab ketika bersama-sama menjadi relawan untuk korban merapi 2010 silam. Dan di moment itulah mereka berkenalan dengan Ranu yang sama-sama menjadi relawan. Lambat laun ternyata Ranu menyimpan perasaan lebih kepada Resti dan sempat mengungkapkannya. Namun, Resti menolaknya karena sudah ada Mas Ragil yang sekarang sedang menantinya. Sempat tegang, tapi Ranu akhirnya menerimanya dengan lapang. Semenjak itu ketika kemanapun Ranu dan Resti pergi pasti Nia juga ada, Resti yang mengajaknya. Akan tetapi, lama kelamaan Resti perlahan berubah. Dia begitu manja dengan perhatian yang diberikan oleh Ranu. Maklum, pacarnya mas Ragil sedang bertugas dipulau seberang. Sudah hampir tiga tahun mereka tak bersua dan otomatis tak ada perhatian secara langsung dari Mas Ragil untuk Resti. Resti merasa nyaman didekat Ranu yang selalu ada untuknya, apalagi perhatian lebih yang diberikannya. Rania kasihan melihat Ranu karna ia mengganggap Ranu adalah pelampiasan Resti saat ia jauh dengan Mas Ragil. Tapi apalah daya, Nia pun tak bisa berbuat apa-apa. Meski lambat laun Nia pun ada perasaan lebih pada Ranu. Namun rasa itu hanya Rania pendam dalam relung hatinya. Rania akan selalu ada ketika Ranu butuh dan saat jauh dengan Resti. Hingga akhirnya Resti menikah dua bulan yang lalu dengan Mas Ragil. Sejak saat itu Ranu menjadi pendiam dan hanyalah Nia yang mampu mengembalikan keceriaannya. Ranu pun memutuskan untuk segera meminang Nia. Sebenarnya Ranu pun juga memendam perasaan yang sama dengan Rania. Namun, ia tak bisa memberikan perhatian lebih kepadanya karena masih ada Resti saat itu yang membutuhkan perhatian sebelum Mas Ragil benar-benar kembali. Hati kadang memang membingungkan.

Kau sandarkan sejenak beban diri
Kau taburkan benih kasih, hanyalah emosi
 
Hampir setengah jam hening menerpa ditempat yang seramai ini di alun-alun Wonosari. Resti diam begitu juga dengan Ranu. Waktu telah menunjukkan pukul 20.30 malam itu.
 “Res, ayo kita pulang.” Seru Ranu. Resti masih bertahan dalam kebisuannya.
         “Kasihan janinmu, dia perlu istirahat. Jangan egois Res..”
“Kakak pulang saja, aku masih pengen disini.”
        “Jika tiba-tiba Ragil datang dan tahu kamu menyiakan jabang bayinya, bukankah itu menyakitkan?.”
“Iya kak, dan itu yang kakak rasakan dulu saat aku menyia-nyiakan kakak demi calon suamiku yang kini telah meninggalkanku. Andai aku memberikan keputusan yang tepat saat itu,  mungkin sekarang aku bahagia bersama kakak, membangun keluarga kecil di bumi ini.”
         “Kenapa kamu ngomong seperti itu?. Kamu menyesal menikah dengan Ragil?.” Nada Ranu mulai meninggi.
         “Jika akhirnya dia meninggalkanku kak. Dia udah pergi selama-lamanya. Dia takkan mungkin kembali.” Tangis Resti pecah.
         “Semua ini sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa Res.” Tangan Ranu membelai lembut kepala Resti. Resti pun menyandarkan diri dibahu Ranu.
         “Jagalah bayimu ini. Dia adalah anak yang dikirim Tuhan untuk menggantikan Ragil disisimu. Pulang ya.”
“Kak, apakah kakak benar-benar mencintai Nia?.”
“Kenapa kamu tanya seperti itu Res?.”
“Kalau iya, berarti sudah tak ada kesempatanku untuk seutuhnya memilikimu kak.”
“Maafkan aku Res, jika ini menyakitimu.”
“Tidak kak. Pasti dulu kakak juga sakit ketika tahu aku sudah berjanji dengan mas Ragil hingga tak ada ruang dihatiku untuk kakak, meski saat itu aku merasa nyaman disekitar kakak.”
Ranu terdiam.
“Jagalah dia kak, dia gadis yang baik. Jangan kakak menyia-nyiakan dia ya. Wanita yang mencintai kakak dan menerima kakak apa adanya.”
“Iya Res, aku menerima segala apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya.”
“Semoga pernikahan kalian nanti diridho’i Allah SWT, sakinah, mawaddah wa rahmah.”
“Aamiin. Terima kasih banyak Res.”
Setelah itu mereka beranjak pulang kembali ke kota gudeg Jogja. Resti plong usai menumpahkan apa yang dirasanya selama ini. Ranu pun telah tenang untuk meninggalkan perasaannya kepada Resti. Resti telah ikhlas melepas Ranu untuk Nia. Tinggalah Nia yang  menanti dibalik dinding kamarnya, menanti Ranu yang dirasanya tak pernah lupa untuk berkunjung kerumahnya setiap malam minggu.

Melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri, kau tlah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
       
       Ranu adalah bagian terkecil dalam masa laluku. Dia yang datang ketika engkau masih jauh diperantauan. Dia yang selalu ada untukku, meski ia tak bisa memilikiku. Ranu kakakku, kenangan kita bertiga bersama Rania akan selalu kukenang. Biarlah ia menjadi cerita untuk anak-anakku nanti. Aku telah bersama Ragil meskipun kini dia telah pergi selamanya. Tak mungkin aku bisa memilikimu Ranu, Rania lebih pantas untukmu. Ku teteskan air mata bahagia ini karna melihat kalian telah bersatu untuk selamanya.
       “Saya terima nikah dan kawinnya, Rania Febriana binti Harianto dengan mas kawin seperangkat alat sholat, al-qur’an dan uang senilai Rp 1.210.120 tunai...”
       “Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, semoga mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah...” batin Resti

Kini hanya rasa rindu merasuk didada
Serasa terbang melayang tinggi, terbawa arus kasih membara

“Sayang, bangun yuk. Sholat subuh...”
“Errgghhh... dimana?”
“Tidurmu malam ini nyenyak sekali sayang. Pasti capek banget ya perjalanan Jogja ke sini.”
Ku buka mata pelan dan ku tersadar, belahan jiwaku tampak nyata disampingku.
“Mas Ragil, jangan pergi tinggalkan Resti sendiri.” Resti memeluk Ragil dengan penuh kehangatan.
“Aku tak akan pernah meninggalkanmu sayang.” Ragil membelai lembut kepala Resti
I love you my wife...”
Love you to my husband...”
          Pagi ini begitu hangat di sebuah gubuk mungil dipinggiran kota di Papua. Ragil telah dikontrak oleh perusahaan swasta untuk ditempatkan kerja disini. Setelah dua bulan cuti karna menikah. Kini dia memboyong istrinya untuk bersama merajut cinta di gubuk kecil ini di Papua. Dan pagi ini, Ranu mengikrarkan diri untuk menjadi pendamping hidup Rania. Dengan segala pertimbangan Ranu telah menerima Rania untuk menjadi istrinya dengan segala apapun keadaannya. Cinta adalah pengorbanan, tapi bukan selamanya kita akan menjadi korban dari cinta.

12 Oktober 2012 / 0.46 WIB
Di sepertiga malam, ketika ku berharap engkau kan menemuiku dalam mimpi...
inspiring song from Anggun C. Sasmi
Share:

0 comments: