Monday, September 1, 2014

Ibu Dilema Mengkonsumsi, Janin Pasrah Menerima

Sebagian besar obat yang diberikan selama kehamilan hanya diperuntukkan untuk kepentingan ibu, sedangkan janin "terpaksa" menjadi penerima. Obat yang diminum dapat melewati plasenta sehingga diterima oleh janin dan mengakibatkan efek farmakologik pada janin.

       Kaget bukan kepalang! Itulah yang dirasakan oleh Eva Smus ketika pertama kali melihat bayinya lahir cacat. Yiddi, nama bayi itu, lahir tanpa jari di tangan kirinya. Kisah itu ditulis oleh Jeremy Beadle dalam situs The Association for Children with Hand or Arm Deficiency.
    Saat mengandung di usia kehamilan antara minggu ke-6 dan ke-8, Eva mengalami tonsilitis. Dokternya meresepkan antibiotik. Selama kehamilan, ia juga mengkonsumsi suplemen asam folat dan 2-3 butir parasetamol. Jadi, ia yakin apa yang terjadi pada Yiddi disebabkan oleh antibiotik.
      Tuduhan Eva mungkin ada benarnya. Sayangnya, tidak mudah mencari tahu hubungan kausal suatu obat (antiobiotik) terhadap timbulnya kecacatan pada janin (teratogenik). Tidak mungkin melakukan uji klinis obat pada ibu hamil. Selama ini yang hanya bisa dilakukan adalah uji coba pada hewan yang dibuat hamil.
       Menurut Judy Priest, pengarang buku "Drugs in Conception, Pregnancy, and Childbirth", hingga pertengahan tahun 1950-an ada anggapan bahwa obat tidak akan pernah membahayakan janin. Namun, anggapan itu langsung buyar ketika kasus thalidomid geger di tahun 1960-an. Dari contoh thalidomid itu, jelas terlihat bahwa mendeteksi efek teratogenik suatu obat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan waktu 10 tahun untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara thalidomid dan kejadian amelia (lahir tanpa anggota tubuh) atau fokomelia (tidak terbentuknya tulang panjang pada ekstremitas).
    Teratogenesis adalah disgenesis organ janin baik secara struktural atau fungsional. Manifestasi teratogenesis bisa berupa pertumbuhan terhambat atau kematian janin, karsinogenesis, dan malformasi. Kelainan yang terjadi bisa bersifat minor atau mayor. Kelainan minor seperti hipospadia tidak terlalu dikhawatirkan karena bisa dioperasi, tetapi kelainan mayor bisa mengancam nyawa.
     Kurangnya pengetahuan mekanisme teratogenesis menyulitkan kita untuk memprediksi obat yang mana yang akan memicu malformasi kongenital. Insiden kongenital mayor sekitar 2-3% dari seluruh kelahiran, dan kongenital minor 9%. Peran obat dalam menyebabkan malformasi kongenital itu bisa dibilang relatif kecil. Sekitar 25% dikarenakan abnormalitas kromosom, 10% lingkungan termasuk obat, 65% tidak diketahui penyebabnya. Selain besar dosis obat, faktor lain yang juga berperan dalam teratogenesis adalah variasi genetik janin, waktu periode perkembangan janin, usia ibu, kondisi nutrisi, dan status penyakit ibu.
       Evaluasi klinis potensi teratogenik atau paparan toksik selama kehamilan harus mempertimbangkan tiga komponen yaitu ibu, embrio dan janin. Embrio bukanlah janin versi kecil. Begitu juga janin yang bukan ibu versi mini. Pada masa embrio, organ sudah mulai terbentuk tetapi fungsinya (metabolisme) belum dapat berjalan. Sementara itu, pada masa janin, organ yang sudah terbentuk mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Enzim metabolisme mulai berfungsi namun beberapa diantaranya baru aktif menjelang fase neonatal, sebagai contoh kolinesterase. Ibu hamil mempunyai enzim lengkap untuk memetabolisme obat, tetapi kebanyakan diantaranya mempunyai aktivitas lebih rendah selama kehamilan. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa farmakokinetik dan farmadinamik obat dari mulai embrio, janin, hingga dewasa mengalami perbedaan. Fisiologi ibu selama kehamilan juga berbeda dibandingkan ibu yang tidak hamil. Jadi masih timbul banyak pertanyaan yang perlu ditelusuri di kemudian hari.
      Dalam meresepkan suatu obat pada kehamilan, obat sebisa mungkin diberikan apabila dirasa perlu. Disini harus pula diingat keseimbangan antara risiko janin untuk mendapat malformasi dan risiko ibu-janin bila ibu tidak mendapat obat. Ketika obat diputuskan untuk diberikan, dosis yang digunakan haruslah dosis terendah dan harus segera dihentikan sesegera mungkin. Obat baru sebaiknya dihindari karena bukti keamanannya masih kurang. 
     Payung hukum peresepan obat pada ibu hamil sebaiknya perlu dipertegas. Langkah The British National Formulary perlu diteladani dengan mengeluarkan pernyataan sebagai berikut "drugs should only be prescribed during pregnancy if the expected benefit to the mother is thought to be greater than the risk to the fetus, and all drugs should be avoided if possible during the first trimester." Semoga pihak berwenang di Indonesia mau mengeluarkan langkah tegas yang sama karena janin hanya pasrah menerima segala macam obat yang diminum ibunya.

Ulasan dari Artikel
“Ibu Dilema Mengkonsumsi, Janin Pasrah Menerima”

      Kehamilan merupakan masa dimana terbentuknya suatu embrio hasil gabungan dari sel sperma dan sel telur. Pada masa ini embrio akan berkembang membentuk organ-organ penyusun tubuhnya (organogenesis). Banyak dibutuhkan asupan gizi yang penting agar pertumbuhan dan perkembangan berjalan baik. Oleh sebab itu, sang ibu harus berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan dan obat-obatan karena secara tidak langsung apa yang dikonsumsi oleh sang ibu akan dikonsumsi juga oleh sang janin.
         Penggunaan obat-obatan antibiotik saat sang Ibu menderita suatu penyakit, harus diawasi penggunaannya. Dosis berlebih dari obat-obatan tersebut bisa berpengaruh negatif pada sang janin dikala pertumbuhan dan perkembangannya. Tidak jarang kita mendengar berita bahwa adanya bayi kembar dempet kepala, dada maupun perut, atau mungkin bayi yang cacat fisik usai dilahirkan dikarenakan konsumsi obat-obatan oleh sang Ibu yang secara tidak langsung tertelan oleh sang janin. Sehingga unsur kimiawi yang terkandung dalam obat mempengaruhi kinerja dari metabolisme saat pembentukan organ.
     Dalam meresepkan suatu obat untuk Ibu hamil, seorang dokter harus memberikan dosis yang sesuai sehingga tidak membahayakan janin yang dikandung oleh sang Ibu. Pemberian obat juga harus segera dihentikan apabila keluhan sudah berkurang atau bahkan sembuh, sehingga konsumsi obat bagi Ibu hamil dapat di minimalisir.


Latepost
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi September 2008 , Halaman: 18 (585 hits)

Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=910
Diakses pada tanggal 25 Mei 2012 Pukul 00:33 WIB

Share:

0 comments: